
Digulirkan Insentif untuk Pacu Investasi Asing
Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution (kanan) didampingi Menteri Keuangan Sri Mulyani (kiri), Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo (kedua kiri) dan Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Nurhaida (kedua kanan) mengumumkan Paket Kebijakan Ekonomi XVI di Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (16/11/2018). Pemerintah memperbaharui tiga kebijakan baru dalam Paket Kebijakan Ekonomi Jilid XVI, yaitu perluasan penerima fasilitas libur pajak (tax holiday), relaksasi aturan daftar negatif investasi (DNI), dan pengaturan devisa hasil ekspor sumber daya alam (DHE SDA).
Foto: ANTARA/Puspa PerwitasariJAKARTA - Pemerintah meluncurkan tiga kebijakan dalam penyempurnaan Paket Kebijakan Ekonomi ke-16, untuk menarik lebih banyak investasi asing guna memperbaiki defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD).
Paket kebijakan itu terdiri atas perluasan penerima fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan Badan (tax holiday), relaksasi aturan Daftar Negatif Investasi (DNI), dan pengaturan Devisa Hasil Ekspor (DHE) untuk sektor sumber daya alam (SDA).
Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Darmin Nasution, mengatakan bila seluruh kebijakan berjalan, diharapkan dapat mendatangkan investasi dan aliran modal asing bagi Indonesia, serta memacu kinerja ekspor.
"Targetnya, defisit transaksi berjalan tidak melampaui 3 persen dari PDB (Produk Domestik Bruto) pada akhir tahun ini, dan tahun depan seharusnya bisa bergerak ke 2,5 persen dari PDB," papar Darmin, di Jakarta, Jumat (16/11).
Tekait dengan upaya memperbaiki CAD, Bank Indonesia (BI) akhirnya menaikkan suku bunga acuan, BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR), sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 6 persen. BI memperkirakan sepanjang tahun ini CAD berada di bawah 3 persen dari PDB.
"Perkiraan kami, [defisit transaksi berjalan] yang di bawah 3 persen PDB itu sudah memperhitungkan neraca perdagangan yang hari ini diumumkan defisit 1,82 miliar dollar AS. Untuk tahun depan, diusahakan turun ke kisaran 2,5 persen PDB," papar Gubernur BI, Perry Warjiyo, Kamis (15/11). Darmin menambahkan kebijakan terkait DHE baru efektif berlaku mulai 1 Januari 2019.
Selain itu, dalam penempatan kembali DHE, pemerintah memberikan keleluasaan kepada eksportir untuk memasukkan devisanya paling lama tiga bulan setelah didapatkan. Menurut dia, dalam kebijakan DHE itu pemerintah memperkuat pengendalian devisa dengan pemberian insentif perpajakan.
Pengendalian berupa kewajiban untuk memasukkan DHE dari ekspor hasil SDA, seperti pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan. lnsentif perpajakan berupa pemberian tarif final Pajak Penghasilan atas deposito.
"Kewajiban untuk memasukkan DHE ini tidak menghalangi keperluan perusahaan yang bersangkutan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban valasnya. Pemerintah ingin mengendalikan devisa dengan memberikan insentif terhadap DHE yang ditempatkan dalam Sistem Keuangan Indonesia (SKI)," ujar dia.
Pada kebijakan tax holiday, lanjut Darmin, pemerintah bakal memperluas sektor investasi yang dapat memperoleh insentif pajak, yakni sektor agribisnis hingga robotik. Tujuannya, untuk mendorong investasi langsung pada industri perintis dari hulu hingga hilir guna mendorong pertumbuhan ekonomi.
Sedangkan kebijakan merelaksasi DNI sebagai upaya untuk mendorong aktivitas ekonomi pada sektor-sektor unggulan. Kebijakan ini membuka kesempatan bagi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), termasuk Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dan Koperasi untuk masuk ke seluruh bidang usaha.
Kehilangan Pajak
Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Abra Talattov, mengatakan insentif tax holiday untuk PPh Badan bukan hal baru yang dikeluarkan pemerintah.
Kebijakan insentif pajak yang bisa juga disebut sebagai belanja perpajakan (tax expeditures) itu punya konsekuensi berupa hilangnya potensi penerimaan pajak. Merujuk hasil estimasi Kemenkeu, potensi penerimaan pajak yang hilang akibat kebijakan tax holiday pada 2016 dan 2017 masing-masing sebesar 143,59 triliun rupiah dan 154,66 triliun rupiah.
Abra mempertanyakan langkah antisipasi pemerintah terkait potensi penerimaan pajak yang hilang itu. Padahal, realisasi penerimaan pajak hingga Oktober 2018 saja baru 71,39 persen dari target. "Artinya, potensi shortfall pajak akan semakin besar dan pemerintah semakin kewalahan untuk memenuhi kebutuhan anggaran belanja.
Konsekuensinya, defisit APBN berpotensi melebar dan akhirnya harus menambah utang baru," ujar Abra. Terkait kewajiban menyimpan DHE di sistem keuangan Indonesia (SKI), Abra menilai sebetulnya juga sudah bukan barang baru lagi karena sudah pernah diimbau oleh pemerintah dengan pemberian insentif.
"Tantangannya saat ini, apakah pemerintah betul-betul berani menegakkan sanksi kepada setiap perusahaan baik pertambangan, perkebunan, kehutanan, perikanan, yang masih melawan aturan tersebut. Pemerintah tentunya akan menghadapi ancaman balik berupa penurunan ekspor produk-produk terkait yang berimbas pada tekanan defisit transaksi berjalan dan stabilitas nilai tukar rupiah," kata Abra.
YK/Ant/WP
Penulis: Antara, Eko S
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Cuan Ekonomi Digital Besar, Setoran Pajak Tembus Rp1,22 Triliun per Februari
- 2 Warga Jakarta Wajib Tau, Boleh Cek Kesehatan Gratis Kapan Saja
- 3 Mantap, Warga Jakarta Kini Boleh Cek Kesehatan Gratis Kapan Saja tanpa Harus Nunggu Hari Ulang Tahun
- 4 Mourinho Percaya Diri, Incar Kebangkitan Fenerbahce di Liga Europa Lawan Rangers
- 5 Kemdiktisaintek Luncurkan Hibah Penelitian Transisi Energi Indonesia-Australia