Yang Tak Terlupakan dari Papua
Papua tahun 1964, setahun setelah Trikora tentu tidaklah semaju sekarang. Meskipun keluarga Asih masih lebih beruntung dibandingkan dengan orang Papua asli, seperti Sendy yang harus menempuh sekolah lebih jauh. Yang kentara ialah soal bahan bakar minyak yang cukup langka, hingga Ibu Asih menjadikan bisnis. Kemudian soal keterheran-herannya orang Papua menyaksikan benda kotak yang mampu menghasilkan es batu pengusir rasa panas di badan.
Keabsenan rasa Papua di novel ini, disebabkan cakupan bahasan yang hanya menitik beratkan soal Asih dan keluarganya di perumahan ABRI. Nunuk tidak membuka lebih luas 'koper' miliknya. Tidak hendak mengulik lebih lanjut soal Papua, tempat dia menghabiskan masa kecil.
Novel ini masih miskin rasa Papua. Tak ada sedikit pun budaya Papua yang disinggung. Penulis terlalu gegabah dengan memilih sudut pandang seorang anak kecil.
Persoalan utama soal 'tukang potong kep' tak dibahas lebih dalam oleh penulis. Hal ini baru dibuka kembali menjelang kepindahan Asih. Kemudian aku teringat 'tukang potong kep'. (hal.220) Aku menatap ke bagian bawah tubuhnya (Om Said), parangnya terlihat berayun-ayun di sisi kanan tubuhnya. (hal.222)
Untuk sebuah novel dengan gelar pemenang unggulan Dewan Kesenian Jakarta, Lengking Burung Kasuari memang tidak memiliki muatan sosial-politik yang pekat. Narasi kuat, penuh kenangan, dan secuplik potret masyarakat Papua tahun 60-an.
Halaman Selanjutnya....
Komentar
()Muat lainnya