Jum'at, 15 Nov 2024, 14:30 WIB

Waspada Penipuan Kripto Bermodus Kecanggihan Teknologi dan Psikologi

Ilustrasi.

Foto: The Conversation/Shutterstock

Arif Perdana, Monash University

Di era digital yang penuh ketidakpastian, penipuan cryptocurrency kini semakin canggih, menyebabkan banyak orang mengalami kerugian finansial yang besar.

Studi terbaru saya bersama seorang kolega dari Singapore Institute of Technology membahas tentang model penipuan di dunia cryptocurrency yang memberikan pemahaman tentang mekanisme penipuan ini bekerja.

Kami menyusun sebuah kerangka bernama Crypto-Cognitive Exploitation Model (CCEM) atau Model Eksploitasi Kognitif-Kripto. Model ini menjelaskan cara para penipu mengeksploitasi kelemahan psikologis manusia melalui rekayasa sosial (social engineering) serta memanfaatkan aspek unik teknologi cryptocurrency.

Model ini kami bangun berbasis laporan dan data aktual dari Departemen Perlindungan dan Inovasi Keuangan (DFPI) Amerika Serikat.

Dalam penelitian ini, kami mengungkapkan kompleksitas modus penipuan cryptocurrency yang tidak sepenuhnya bisa dijelaskan oleh dua teori eksisting yang lebih umum. Kedua teori tersebut yaitu teori rekayasa sosial dan teori kerentanan kognitif.

Teori rekayasa sosial menjelaskan cara penipu yang memanipulasi korban dengan berpura-pura menjadi orang lain, membuat janji palsu, menawarkan hadiah fiktif, atau menakut-nakuti korban.

Sementara itu, teori kerentanan kognitif mengungkap tentang kelemahan cara berpikir manusia, seperti mudah percaya pada informasi yang sesuai keinginan, gampang terpengaruh dengan cerita kesuksesan orang lain, takut ketinggalan kesempatan, dan panik saat diberi batasan waktu.

Namun, kedua teori ini belum cukup untuk menjelaskan kompleksitas penipuan cryptocurrency, yang melibatkan tiga hal sekaligus: cara manusia berpikir, hubungan antar manusia, dan teknologi baru yang masih asing bagi banyak orang.

Oleh karena itu, kita butuh cara baru untuk memahami bagaimana ketiga aspek ini berkaitan dalam penipuan cryptocurrency, yaitu melalui Model Eksploitasi Kognitif-Kripto (CCEM).

Mengungkap tiga lapisan penipuan kripto

Model kami memiliki tiga lapisan penting untuk menjelaskan cara kerja penipuan cryptocurrency.

Mula-mula kami mempelajari bagaimana cara orang berpikir dan mengambil keputusan yang berpotensi membuat mereka mudah tertipu, kemudian kami mempelajari trik-trik yang digunakan oleh para penipu untuk menjebak korban, lalu kami menganalisis bagaimana teknologi cryptocurrency yang kompleks ini dimanfaatkan untuk melakukan penipuan.

1. Kerentanan kognitif

Lapisan pertama ini berkaitan dengan cara orang berpikir dan mengambil keputusan yang berpotensi membuat mereka mudah tertipu dalam investasi cryptocurrency. Contoh kerentanan ini adalah memanfaatkan celah fear of missing out atau FOMO (takut kehilangan kesempatan) dari calon korban.

FOMO dalam konteks mata uang kripto adalah kondisi di mana seseorang tergesa-gesa ikut berinvestasi karena melihat orang lain sukses atau kaya mendadak, tanpa mengecek informasi dengan teliti. Selain itu, calon korban didoktrin sudah memahami teknologi cryptocurrency, padahal pengetahuannya sebenarnya masih dangkal.

2. Rekayasa sosial

Lapisan ini meliputi trik-trik yang digunakan penipu untuk menjebak korban. Dalam kasus cryptocurrency, penipu sering berpura-pura menjadi ahli keuangan atau pakar teknologi untuk mendapat kepercayaan korban. Mereka juga membuat bukti palsu seperti testimoni bohong dari orang yang diklaim sudah sukses atau berpura-pura mendapatkan dukungan dari selebriti untuk meyakinkan korban.

3. Pemanfaatan teknologi kripto

Lapisan ketiga ini menjadi ciri khas dalam penipuan cryptocurrency. Karena cryptocurrency berjalan tanpa pengawasan bank atau pemerintah, transaksi yang dilakukan bersifat permanen. Penipu memanfaatkan sifat ini sehingga setelah uang dikirim, maka tidak ada cara untuk mengembalikannya.

Bagaimana penipu mengeksploitasi teknologi kripto

Teknologi kripto yang rumit sering kali membuat korban kebingungan dan menjadi rentan terhadap penipuan. Di penelitian ini, kami menemukan banyak korban terjebak dengan istilah teknis seperti “cloud mining” atau “liquidity mining” yang terdengar kredibel namun sering kali hanya digunakan sebagai kedok penipuan.

Pseudo-anonimitas atau anonimitas semu adalah karakteristik lain dari banyak cryptocurrency yang juga dimanfaatkan oleh para penipu. Artinya, meskipun identitas pengguna tidak terlihat secara langsung (misalnya, Anda tidak melihat nama atau alamat mereka), setiap transaksi dicatat secara publik di blockchain.

Para penipu dapat membuat beberapa dompet cryptocurrency untuk mengaburkan jejak mereka, sehingga mempersulit otoritas untuk melacak pelaku dan mengembalikan dana yang dicuri.

Contoh kasus yang pernah dilaporkan di Amerika Serikat, korban diiming-imingi investasi pada platform bernama “BitFunds” yang menjanjikan keuntungan dari penambangan Bitcoin. Penipu berhasil mengeksploitasi rasa percaya diri korban terkait cryptocurrency serta efek FOMO atas potensi keuntungan besar.

Pelajaran bagi Indonesia

CCEM memberikan beberapa wawasan berharga bagi berbagai pemangku kepentingan dalam ekosistem cryptocurrency, baik individu, organisasi, maupun regulator untuk memperhatikan aspek kognitif dan psikologis, selain teknologi yang membuat orang rentan terhadap penipuan.

Indonesia dapat mengambil beberapa pelajaran penting dari model ini untuk mengantisipasi penipuan dalam dunia kripto. Apalagi, saat ini jumlah investor cryptocurrency di Indonesia lebih banyak dari investor saham.

  • Peningkatkan literasi digital dan finansial: Masyarakat perlu dilatih untuk mengenali tanda-tanda penipuan dan mengelola FOMO. Edukasi publik harus fokus tidak hanya pada aspek teknis, tetapi juga pada aspek psikologis yang memengaruhi keputusan investasi.
  • Pengawasan promosi oleh tokoh publik: Mengingat kuatnya pengaruh selebriti dan media sosial, regulator perlu memperketat pengawasan terhadap promosi cryptocurrency oleh influencer atau tokoh publik, karena testimoni palsu sering kali digunakan untuk menarik korban.

  • Peningkatan sistem pelaporan penipuan: Pemerintah perlu membangun sistem pelaporan dan penanganan penipuan cryptocurrency yang lebih efektif. Kolaborasi antara otoritas keuangan, kepolisian, dan platform cryptocurrency akan membantu dalam pencegahan dan penanganan kasus penipuan.
  • Regulasi yang memperhatikan karakteristik masyarakat lokal:
    Pemerintah perlu memperkuat regulasi yang mempertimbangkan karakteristik unik masyarakat Indonesia, seperti tingginya penggunaan media sosial dan budaya gotong-royong yang bisa dimanfaatkan penipu dalam skema penipuan berantai.

Pemahaman tentang hubungan antara teknologi, psikologi, dan dinamika sosial menjadi kunci dalam membangun ekosistem cryptocurrency yang lebih aman di masa depan.

Apalagi, teknologi terus berkembang, termasuk kecerdasan buatan (AI) dan komputasi kuantum yang dapat mengubah asumsi dasar tentang keamanan dalam cryptocurrency. Artinya, kemajuan teknologi baru mungkin akan membuka celah atau peluang baru dalam keamanan cryptocurrency yang harus segera diantisipasi.The Conversation

Arif Perdana, Associate Professor in Digital Strategy and Data Science, Monash University

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Redaktur: -

Penulis: -

Tag Terkait:

Bagikan: