Ulah Diaspora Tutsi Mendorong Terjadinya Genosida
Foto: afp/ BERTRAND GUAYPada 1973 terjadi kudeta di Rwanda yang dipicu oleh orang-orang Hutu yang menganggur dan terpelajar. Ketidakpuasan internal terhadap rezim Kayibanda bertambah dengan pembantaian oleh orang-orang Tutsi terhadap orang-orang Hutu di negara Burundi pada 1972.
Pembantaian ini menyebabkan kekerasan dan pembalasan terhadap orang-orang Tutsi di dalam negeri Rwanda. Kaum intelektual Hutu dari bagian utara Rwanda memulai kampanye untuk mengusir semua orang Tutsi dari sekolah dan administrasi publik.
Pada 5 Juli 1973, Mayor Jenderal Juvénal Habyarimana, yang menjabat sebagai menteri pertahanan dalam pemerintahan Kayibanda, merebut kekuasaan dengan paksa. Alasannya melakukan hal itu adalah untuk meredakan kerusuhan umum yang telah mencengkeram negara tersebut sejak tahun 1972.
Pertengahan hingga akhir tahun 1980-an merupakan periode penurunan ekonomi bagi Rwanda. Pada tahun 1985, negara ini diguncang oleh beberapa skandal korupsi yang berujung pada pengunduran diri paksa kepala bank nasional pada bulan April tahun yang sama.
Jennifer Gaugler, dalam tulisan berjudul Selective Visibility: Governmental Policy and the Changing Cultural Landscape of Rwanda (2013), menyebutkan negara ini kemudian mengalami krisis sumber daya yang parah. Hal ini diperburuk dengan anjloknya harga kopi secara tiba-tiba dan menghancurkan pada 1989, menyebabkan PDB Rwanda turun sebesar 5,9 persen.
Pada saat yang sama, peristiwa eksternal di negara tetangga Burundi dan Uganda mempengaruhi Rwanda. Pengungsi Tutsi di Uganda yang melarikan diri dari genosida 1959, dianiaya oleh pemerintah Uganda pada awal 1980-an. Diskriminasi dan marginalisasi yang membayangi diaspora Rwanda di Uganda merajalela bahkan pada akhir tahun 1980-an.
Hal ini meradikalisasi orang Tutsi yang tinggal di sana dan mendorong gagasan bahwa mereka perlu kembali ke Rwanda dan merebut kendali negara di sana. Pada 1988 sekitar 50.000 orang Hutu melarikan diri dari kekerasan etnis di Burundi ke Rwanda, yang meradikalisasi orang Hutu yang tinggal di Rwanda.
Pada 1986 Gerakan Perlawanan Nasional (NRM) mengambil alih kekuasaan di Uganda, dan banyak pejuang gerilya yang berjuang untuk mereka adalah anak-anak pengungsi Tutsi, yang paling terkenal adalah anggota RPF Paul Kagame. Pada 1987 Kagame diangkat menjadi kepala intelijen militer di Uganda.
Pada bulan Oktober 1990, dengan dukungan senjata dan material dari Uganda, RPF memulai invasi bersenjata mereka ke Rwanda. Hal ini akan meradikalisasi masyarakat Tutsi yang tinggal di sana dan memacu gagasan bahwa mereka perlu kembali ke Rwanda dan mengambil kendali negara di sana.
Pada 1991, RPF mengalami beberapa kemenangan di medan perang, tetapi gagal menerjemahkan kemenangan tersebut menjadi kemenangan strategis jangka panjang. Penyebabnya adalah penduduk setempat, yang sebagian besar adalah petani Hutu, tidak melihat RPF sebagai pembebas.
Ini berarti bahwa negara Rwanda mengubah politiknya dari politik penyatuan nasional menjadi politik kekuasaan Hutu. Pada saat yang sama, para pengungsi dari utara memberikan tekanan pada pemerintah Rwanda yang sudah tidak populer karena kemerosotan ekonomi pada tahun-tahun sebelumnya. hay/I-1
Berita Trending
- 1 Indonesia Tunda Peluncuran Komitmen Iklim Terbaru di COP29 Azerbaijan
- 2 Ini Kata Pengamat Soal Wacana Terowongan Penghubung Trenggalek ke Tulungagung
- 3 Sejumlah Negara Masih Terpecah soal Penyediaan Dana Iklim
- 4 Penerima LPDP Harus Berkontribusi untuk Negeri
- 5 Ini yang Dilakukan Kemnaker untuk Mendukung Industri Musik
Berita Terkini
- MMKSI Luncurkan Varian Baru Mitsubishi Xforce Ultimate with Diamond Sense,
- Dubes RI untuk Belanda: Dukungan BNI pada KMILN Tegaskan Posisinya sebagai Bank Global
- IDI Kabupaten Banyumas Bagikan Cara Tepat Obati Penyakit Tekanan Darah Tinggi yang Efektif
- IDI Jawa Tengah BagikanTips Kesehatan Cara Cepat Hamil Setelah Haid
- Khofifah - Emil Ajak Pendukung Doa Bersama dan Sukseskan Pilgub Jatim