Tugu Prasasti untuk Karel Frederik Holle
Tugu Karel Frederik (KF) Holle.
Foto: istimewaSiapa sebenarnya Karel Frederik (KF) Holle sehingga tugunya berdiri kokoh di dalam Perkebunan Teh Cisaruni atau Perkebunan Teh Giriawas, di Kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut?
Boleh dibilang, perkebunan teh di Cisaruni di Kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut, Jawa Barat, menyimpan jejak sejarah gemilang Holle. Ia adalah sosok yang mewarisi dan mengembangkan perkebunan teh di Cisaruni dengan segala keindahan alamnya.
Pria Belanda yang hidup dari tahun 1829 hingga 1896, menurut Her Suganda dalam buku Kisah Para Preanger Planters (2014), ia merupakan seorang Belanda pemilik perkebunan di Garut, yang juga diangkat menjadi penasehat pemerintah Hindia Belanda.
Namun di samping menjadi pemilik perkebunan ia sangat berminat terhadap bahasa dan kesusastraan pribumi, khususnya bahasa Sunda tempatnya tinggal selama puluhan tahun di di daerah Parahyangan timur. Sahabat sekaligus murid Holle adalah Muhamad Musa, seorang pejabat pribumi di Limbangan, Garut. Bersama-sama, mereka bekerja dalam menerjemahkan naskah-naskah kuno dan menghasilkan berbagai karya sastra yang bernilai tinggi dalam bahasa Sunda.
Frederik Holle dilahirkan di Amsterdam pada tahun 1829, dari pasangan Belanda Pieter Holle dan Alexandrine Albertina van der Hucht seorang saudagar belanda. Ia merupakan anak sulung dari tujuh bersaudara.
Pada 1844, ketika baru berusia 14 tahun, ia dan keluarganya meninggalkan Belanda bersama keluarga pamannya, Willem van der Hucht, menuju Hindia Belanda. Alasan kepindahan tersebut karena saat itu Belanda sedang mengalami krisis. Ayahnya mencoba peruntungan di daerah baru setelah usahanya mengalami kebangkrutan.
Meskipun merupakan seorang Belanda, Holle dikenal karena kedekatannya dengan masyarakat pribumi dan kecintaannya terhadap kebudayaan Sunda. Kepada masyarakat Garut ia berkontribusi dalam memajukan sektor perkebunan, pertanian, pendidikan, kesusastraan, kebudayaan, dan pelestarian budaya.
Pada 1861, pemerintah memberikan dana kepada Holle untuk persiapan penerbitan buku-buku bacaan dan diktat sekolah berbahasa Sunda. Usaha ini berhasil membuat penerbitan buku-buku berbahasa Sunda menjadi semakin populer dan menggeser penggunaan buku-buku berbahasa Melayu.
Kala itu Holle juga berperan sebagai pengarah bagi penulis-penulis lokal Sunda. Banyak penulis terkenal seperti Musa, Adi Widjaja, dan Hasan Mustapa muncul ke permukaan berkat dorongan dan bimbingan dari Holle dalam menulis.
Ia juga menjadi persahabatan dengan para penggiat pendidikan di Limbangan, Garut. Di sini terbentuk apa yang dikenal sebagai “lingkaran Holle”, sebuah jaringan pendidikan dan kebudayaan karena kiprahnya dalam mendorong perkembangan kebudayaan Sunda melalui pendidikan dan sastra. Hal ini menjadikannya sangat dihormati oleh masyarakat setempat dan orang Sunda pada umumnya.
Holle juga menunjukkan kepeduliannya terhadap pendidikan masyarakat lokal. Ia mendirikan “Sekolah Pribumi”.Kini bangunannya sekolah yang didirikannya telah beralih fungsi menjadi Polwiltabes Bandung. Bangunan ini tentu saja mewakili jejak Holle dalam memajukan pendidikan.
Di bidang pertanian Holle memiliki minat yang besar. Dengan pengetahuan yang dimiliki ia memperkenalkan teknik pertanian baru di tanah Priangan timur dan menulis serangkaian artikel tentang pertanian dalam majalah Tijdschrift voor Nijverheid en Landbouw van Nederlandsch-Indië.
Holle mengamati desa-desa di sekitar Garut dan melakukan uji coba teknik bertani di perkebunannya sendiri. Salah satu kontribusi terbesar Holle dalam bidang pertanian adalah pengembangan sistem bertanam padi yang dikenal dengan Sistem Holle.
Dalam penanaman padi ia merekomendasikan untuk tidak lagi menanam padi dengan cara menebarkan benih begitu saja. Teknik yang diajarkan adalah pertama dengan menyemai bibit padi terlebih dahulu di persemaian sebelum ditanam di lahan pertanian yang telah dipersiapkan. Konsep ini membantu meningkatkan produktivitas pertanian di tanah Sunda.
Kehandalannya dalam berbahasa Sunda memungkinkannya berinteraksi dan mengajarkan teknik pertanian kepada petani setempat. Bukan hanya berbahasa ia memiliki peran penting dalam pelestarian kebudayaan dan seni tradisional Sunda, termasuk pengembangan batik garutan asli.
Melalui kerja samanya dengan istri petani dan pegawai perkebunan, ia mengajarkan teknik pembuatan batik tenun garutan. Corak batik garutan terinspirasi oleh lingkungan sekitarnya, mencerminkan kehidupan pertanian, perkebunan, dan keindahan alam Garut.
Meskipun Karel Frederik Holle memberikan kontribusi besar, pengakuan terhadap jasanya tidak selalu memadai dari masyarakat dan pemerintah Garut. Selama masa penjajahan Jepang, tugu peringatan yang didirikan untuk menghormatinya dihancurkan. Nama jalan Hollenstraat juga diubah menjadi Jalan Mandalagiri.
Meskipun tidak mendapatkan pengakuan yang seharusnya, namun Holle tidak patah arang dalam memperjuangkan pengakuan atas apa yang telah diperbuat. Pada 2001, keluarga Holle berusaha mendirikan kembali tugu peringatan untuk menghormatinya di Alun-alun Garut. Sayangnya usulan ini kandas oleh keputusan DPRD Kabupaten Garut saat itu. hay/I-1
Berita Trending
- 1 Indonesia Tunda Peluncuran Komitmen Iklim Terbaru di COP29 Azerbaijan
- 2 Electricity Connect 2024, Momentum Kemandirian dan Ketahanan Energi Nasional
- 3 Penerima LPDP Harus Berkontribusi untuk Negeri
- 4 Ini yang Dilakukan Kemnaker untuk Mendukung Industri Musik
- 5 Tim Putra LavAni Kembali Tembus Grand Final Usai Bungkam Indomaret
Berita Terkini
- Dishub Kota Medan luncurkan 60 bus listrik baru Minggu
- Pelatih Persija nilai pemainnya kurang antisipasi skema gol Persebaya
- Pemkab Bantul sebut pelaku usaha perikanan adalah pahlawan pangan
- Kasdam Brigjen TNI Mohammad Andhy Kusuma Buka Kejuaraan Nasional Karate Championship 2024
- BNI Kantongi Gold Rank ASRRAT 4 Tahun Berturut-turut