Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis
Perubahan Iklim I Dekarbonisasi Membuat Biaya Energi Lebih Murah dan Terjangkau

Transisi Energi Bukan Tekanan dari Negara Maju

Foto : ISTIMEWA

FABBY TUMIWA Direktur Eksekutif IESR - Kebergantungan pada energi fosil menyebabkan ekonomi Indonesia stagnan karena APBN tidak bisa terlalu ekspansif ke sektor produktif, habis tersedot membiayai subsidi dan kompensasi energi fossil.

A   A   A   Pengaturan Font

» Kebergantungan pada energi fosil membebani APBN karena subsidi energi yang besar.

» Untuk pensiun dini PLTU, pemerintah akan mengurangi masa kontrak secara bertahap.

JAKARTA - Pemerintah khususnya Kementerian Keuangan (Kemenkeu) diminta menghentikan retorika yang bisa menyesatkan publik seolah-olah transisi ke energi baru terbarukan sebagai beban dan tekanan dari negara maju. Seharusnya pemerintah melihat transisi energi itu sebagai sebuah kesempatan menuju pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, kompetitif, dan berkelanjutan.

Hal itu dikemukakan Direktur Eksekutif Institute for Essential Serviece Reform (IESR), Fabby Tumiwa, yang diminta tanggapannya atas pernyataan Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati, di Munich Security Conference bertajuk Power Shifts: Geopolitics of the Green Transition, pekan lalu.

Menkeu pada kesempatan itu menyatakan prinsip adil dan terjangkau penting dalam transisi energi. Sebab itu, Conference of The Parties (COP) yang merupakan konferensi perubahan iklim terus membahas prinsip tersebut.

"Tidak hanya retorika. Jika kita tidak mempersiapkan diri pada prinsip adil dan terjangkau secara nyata maka tidak akan ada kemajuan," kata Menkeu.

Menurut Fabby, transisi energi sebuah keharusan untuk menjamin keamanan pasokan energi di masa depan. Walaupun tujuan dari transisi energi adalah untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) dari pembakaran bahan bakar fosil, tetapi sebaiknya tidak dicampur aduk dengan konteks perundingan perubahan iklim UNFCCC, yang memang memiliki dimensi yang lebih kompleks.

Kajian LCDI Bappenas, jelasnya, menunjukkan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi di atas 5,5 persen dan keluar dari middle income trap maka perlu ada langkah-langkah mitigasi GRK, salah satunya dari sektor energi yang akan menjadi penghasil emisi dominan di 2030, lebih tinggi dari sektor lahan.

"Untuk itu maka harus lebih banyak pasokan energi terbarukan dan efisiensi energi serta penurunan pembakaran energi fosil di sektor listrik, transportasi, dan industri," ungkap Fabby.

Deep Decarbonization of Indonesia Energy System tahun 2021 lalu menunjukkan bahwa dekarbonisasi sektor energi akan membuat biaya penyediaan energi lebih murah dan terjangkau dibandingkan dengan jika masih menggunakan energi fosil. Dengan biaya energi yang lebih murah maka belanja energi masyarakat dan bisnis serta subsidi energi pemerintah jauh lebih kecil. Keuntungan tersebut bisa dialihkan untuk belanja lain yang produktif yang akan memberikan feedback (umpan balik) pada sistem ekonomi.

"Saya menyarankan Menteri Keuangan berhenti menggunakan retorika bahwa transisi energi membebani perekonomian Indonesia. Faktanya selama ini, kebergantungan pada energi fosil menyebabkan ekonomi Indonesia stagnan karena APBN tidak bisa terlalu ekspansif ke sektor produktif, habis tersedot membiayai subsidi dan kompensasi energi fossil," tegas Fabby.

Kebijakan subsidi energi itulah yang membuat biaya untuk transisi energi justru lebih mahal. Hal itu ditambah dengan pemberian insentif kepada PLN untuk terus mempertahankan PLTU, sehingga enggan mengakselerasi energi terbarukan.

Pensiun Dini

Menkeu dalam keterangannya mengatakan Indonesia sedang mendesain rencana pensiun dini terhadap tiga Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara. Untuk memberhentikan PLTU tersebut, pemerintah memberlakukan pengurangan kontrak secara bertahap, salah satunya kepada pembangkit listrik independen (Independent Power Producer/IPP).

Pemberian kontrak terhadap PLTU batu bara pada awalnya selama 30 tahun. Dengan adanya target mengurangi emisi karbon, kontrak tersebut diperpendek menjadi 15 tahun.

Dalam pengurangan masa kontrak, Bendahara Negara ini menyebutkan perusahaan tentunya meminta kompensasi. Dengan demikian, pemerintah harus memiliki posisi fiskal yang sehat untuk mengatasi permasalahan tersebut.

Dihubungi terpisah, pengamat energi dari Univeristas Gadjah Mada Yogyakarta, Fahmi Radhi, setuju dengan upaya mempercepat pensiunan dini PLTU dan di sisi lain memberi insentif kepada investor untuk segera membangun sumber energi baru terbarukan. Insentif salah satunya dalam bentuk subsidi tarif.

"Pemerintah juga seharusnya memulai mekanisme perdagangan karbon dengan tarif yang menguntungkan, karena di perdagangan itulah keadilan akan tercipta," kata Fahmi.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top