Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis
Pengendalian Emisi Karbon I Beijing Berjanji Tingkatkan Konsumsi Bahan Bakar Nonfosil

Tiongkok Semakin Agresif Bangun Pembangkit Listrik EBT

Foto : Sumber: National Energy Administration - KJ/ONES
A   A   A   Pengaturan Font

» Hingga akhir 2020, Tiongkok memiliki total kapasitas terpasang tenaga surya dan angin sebesar 535 GW.

» PLTS di Indonesia menurut IRENA kurang dari 172 MW pada 2020, dengan PLTS Atap baru sekitar 40 MW.

BEIJING - Tiongkok telah memerintahkan perusahaan transmisi listrik untuk menghubungkan minimal 90 gigawatt (GW) Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) ke jaringan tahun ini. Administrasi Energi Nasional (NEA), pada Kamis (23/9), mengatakan inisiatif kebijakan baru itu ditujukan untuk memenuhi target emisi rendah karbon.

NEA juga mengatakan akan menetapkan target transmisi energi terbarukan daripada pembangunan kapasitas baru dalam upaya untuk menghindari pemborosan dan memastikan bahwa pembangkit listrik tenaga angin dan surya dapat menjual semua listrik mereka di pasar.

Tiongkok, negara penghasil gas rumah kaca terbesar di dunia, telah berjanji untuk meningkatkan konsumsi energi bahan bakar nonfosilnya menjadi sekitar 20 persen dari penggunaan energi primer pada tahun 2025, dan menjadi sekitar 25 persen pada 2030.

"Tiongkok tidak akan lagi mengeluarkan target tahunan untuk kapasitas terbarukan, tetapi akan memberikan perkiraan konsumsi daya terbarukan dan memandu pemerintah daerah untuk mengatur pembangunan proyek baru, serta mempromosikan perdagangan energi terbarukan lintas wilayah," sebut pernyataan NEA.

Pedoman baru itu akan memberikan lebih banyak tekanan pada perusahaan jaringan untuk meningkatkan ketersediaan dan akses pasar untuk energi bersih, karena negara tersebut telah berusaha untuk menghindari kenaikan tingkat pembatasan, istilah industri untuk kapasitas listrik yang terbuang karena tidak semua output tidak dapat dikirimkan ke pelanggan.

Beijing telah menargetkan untuk meningkatkan pembangkit listrik dari pembangkit listrik tenaga surya dan angin menjadi sekitar 11 persen dari total konsumsi daya pada tahun 2021, dari 9,7 persen pada tahun 2020.

Hingga akhir 2020, Tiongkok memiliki total kapasitas terpasang tenaga surya dan angin sebesar 535 GW. Perusahaan jaringan akan didorong untuk menerima lebih banyak energi terbarukan selain kapasitas minimum 90 GW, selama proyek dilengkapi dengan penyimpanan daya atau kapasitas pengurangan beban puncak yang akan membantu memastikan stabilitas sistem jaringan.

Pernyataan Kamis itu juga mendesak pemerintah daerah untuk meringankan "beban irasional" pada pengembang terbarukan dan untuk meluncurkan kebijakan tanah dan keuangan yang menguntungkan untuk mendukung proyek.

Kalah Jauh

Menanggapi masifnya Tiongkok, Direktur Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengatakan Indonesia perlu belajar banyak dari pesatnya pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di negara tersebut. Sampai akhir 2020, pembangunan PLTS di Tiongkok mencapai 253 GW atau 11,3 persen dari total kapasitas pembangkit yang mencapai 2.200 GW.

"Itu hanya PLTS, kalau energi baru terbarukan (EBT) totalnya 42 persen atau 934 GW. Indonesia kalah jauh," kata Fabby.

PLTS di Indonesia menurut International Renewable Energi (IRENA) kurang dari 172 MW pada 2020, dengan PLTS Atap baru sekitar 40 MW. Padahal potensi PLTS di Indonesia menurut hasil kajian IESR berkisar antara 3,6 hingga 20 Terra Watt (TW). Sebab itu, dia menyoroti rumitnya perizinan yang harus dimiliki konsumen untuk memanfaatkan PLTS Atap.

Pemerintah telah melakukan revisi Peraturan Menteri ESDM nomor 49 tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap oleh Konsumen PLN. Alhasil kini ada dua aturan lagi terkait penggunaan PLTS Atap, yaitu Peraturan Menteri ESDM nomor 12/2019, dan Peraturan Menteri ESDM nomor 13/2019.

Permen 13/2019 menegaskan bahwa sistem PLTS Atap wajib memiliki izin operasi dan SLO (Sertifikat Laik Operasi). Sementara di Permen 12/2019 menegaskan, batasan kapasitas yang wajib memiliki izin operasi dan SLO adalah yang melebihi 500 kVA. Sedangkan untuk sistem PLTS dengan kapasitas sampai dengan 500 kVA tidak dikenakan kewajiban.

Di peraturan sebelumnya, batasannya adalah 25 kVA untuk SLO dan 200 kVA untuk izin operasi.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top