Tiongkok Bakal Ubah Gurun Pasir Jadi Lahan Pangan Terbesar di Dunia
Foto: Sumber: BPS – Litbang KJ/and - KJ/ONESJAKARTA - Pemerintah Tiongkok sangat gencar mengonversi tanah gersang menjadi lahan-lahan pertanian. Hal itu untuk meningkatkan produktivitas penduduknya yang saat ini tercatat yang terbesar di dunia.
Jika dibandingkan dengan Amerika Serikat (AS) yang hanya memiliki 12 persen lahan subur, saat ini Tiongkok adalah penghasil agrikultur terbesar di dunia. Seluruh lahan yang tersedia ditanami secara intensif, dan pemerintah berinvestasi besar-besaran untuk meningkatkan produksi dan mengonversi lahan menjadi area tanam.
Sangat mengagumkan, negara besar seperti ini dikelola untuk menjadi penghasil suplai makanan. Seperti yang tampak pada wilayah Shenyang, hampir seluruhnya adalah gurun gersang. Berkat teknologi dan upaya pengairan, masyarakat dapat menanam sayuran dan buah-buahan tanpa bergantung pada hujan.
Sebagai hasilnya, antara lain bawang, semangka, melon, tomat, dan berbagai jenis produk lainnya yang membanjiri pasar internasional, dan rasanya dapat disetarakan dengan produk dari Italia.
Mengingat arti penting lahan pertanian, gurun pasir dan perluasannya menjadi masalah dan isu lingkungan di Tiongkok. Tanah berpasir yang saat ini mencakup 27 persen wilayah negara, terus berkembang meluas dengan cepat. Pada 2006, telah tumbuh menjadi 1.000 mil persegi per tahun, dari 600 mil persegi pertahun.
Musuh paling berbahaya Tiongkok adalah Gurun Gobi, yang berkembang 300 mil persegi melintasi Tiongkok dan Mongolia. Kawasan ini adalah gurun pasir paling kering di bumi. Pasir dan debu secara rutin beterbangan di permukiman penduduk, menutupi jalan raya dan jalur kereta api. Ratusan ton pasir menjadi polusi bagi Tiongkok.
"Tembok Raksasa Hijau"
Penelitian menyebutkan, badai pasir telah menimbulkan kerugian miliaran dollar bagi ekonomi negara ini. Hingga akhirnya pemerintah memutuskan untuk membangun "Tembok Raksasa Hijau".
Tidak seperti tembok yang dibangun sebelum masehi, tembok hijau Tiongkok adalah proyek hutan terbesar di planet ini. Targetnya adalah membangun "Sabuk Hijau" sepanjang 2.796 mil untuk membendung perluasan Gurun Gobi, sambil mereduksi polusi karbondioksida yang ada.
Bila berjalan sesuai rencana, pada tahun 2050 kawasan hutan Tiongkok akan mencapai 50 persen dari wilayah negara tersebut, dibanding hanya 5 persen saat ini. Program ini didesain untuk membendung dominasi gurun pasir yang datang dari kawasan utara Tiongkok. Program ini dinamai "Perlindungan Hutan dari Tiga Utara". Pada saat yang sama, juga disebut Tembok Besar Hijau Tiongkok.
Ide program ini diyakini datang dari mantan pemimpin Tiongkok, Deng Xiao Ping. Tidak lama lagi, setiap penduduk berusia minimal 18 tahun akan diwajibkan menanam tiga pohon, seperti ekaliptus atau pohon besar lainnya.
Warga desa akan didanai untuk menanam bibit, dan pada beberapa lokasi, pemerintah akan membebaskan lahan pribadi untuk program tersebut.
Tidak Layak
Kalau Tiongkok dengan teknologi mengubah gurun pasir menjadi lahan pangan, maka Indonesia malah sebaliknya mengubah lahan subur yang jadi sumber cadangan pangan menjadi hutan beton, misalnya Bandara Kertajati di Majalengka, Jawa Barat.
Begitu juga dengan rencana memindah PT Pindad ke Kertajati. Padahal, Pindad sengaja dibangun di Bandung supaya dekat dengan Kampus Institut Teknologi Bandung (ITB) dengan maksud agar riset dan pengembangan (research and development) bisa berjalan dengan baik. Kenapa tidak sekalian saja ITB dipindah ke Kertajati.
Dari awal Bandara Kertajati Proyek memang tidak layak. Hal yang lebih parah karena lahan sawah dijadikan lahan beton airport, industri, dan real estate. Jika Indonesia mendurhakai alam suburnya maka akan mati dengan sendirinya.
Kalau di Tiongkok lahan tidak subur dijadikan subur, di sini dijadikan Concrete estate. Kesalahan terbesar karena sebenarnya tidak layak, tetapi dipaksakan demi proyek, bukan buat kepentingan negara dan rakyat.
Pakar Hukum Lingkungan dari Universitas Airlangga Surabaya, Suparto Wijoyo, mengatakan bila ada pelanggaran dan permainan amdal sehingga menyebabkan kerusakan lingkungan, maka yang dilanggar bukan hanya aspek yuridis, tapi juga lingkungan.
- Baca Juga: Negara Harus Mendengarkan Pesan-pesan Moral
- Baca Juga: Ada Apa TNI Kerahkan 5 Kapal Perang
"Kalau menimbulkan bencana lingkungan maka itu merupakan dosa ekologis. Jangan sampai memanfaatkan kebijakan pengembangan kawasan yang merusak lingkungan," kata Suparto. n SB/ ers/innovativetechs/youtube/E-9
Redaktur: Vitto Budi
Penulis: Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Usut Tuntas, Kejari Maluku Tenggara Sita 37 Dokumen Dugaan Korupsi Dana Hibah
- 2 Keluarga Sido Muncul Kembangkan Lahan 51 Hektare di Semarang Timur
- 3 Kejati NTB Tangkap Mantan Pejabat Bank Syariah di Semarang
- 4 Pemerintah Diminta Optimalkan Koperasi untuk Layani Pembiayaan Usaha ke Masyarkat
- 5 Dampak Proyek LRT, Transjakarta Menutup Sementara Pelayanan di Dua Halte Ini