Minggu, 15 Des 2024, 10:28 WIB

TikTok Hadapi Ancaman Berupa Larangan Penggunaan di Amerika Serikat

Foto: Dado Ruvic, Reuters

TikTok menghadapi kemunduran besar dalam perjuangannya melawan undang-undang yang dapat memaksa aplikasi berbagi video ini untuk dijual oleh ByteDance, perusahaan induknya yang berbasis di China, atau menghadapi larangan di Amerika Serikat. 

Pada bulan Desember, sebuah pengadilan AS menolak upaya TikTok untuk mengajukan banding terhadap undang-undang yang disahkan pada bulan April, membuka jalan bagi kemungkinan larangan tersebut. 

TikTok memiliki jutaan pengguna di seluruh dunia, namun aplikasi ini terus dipertanyakan terkait dengan masalah keamanan data dan hubungan dengan pemerintah Beijing. Anggota legislatif dari kedua partai besar di AS mendukung undang-undang yang akan melarang TikTok kecuali ByteDance setuju untuk menjualnya kepada perusahaan non-China. 

Mereka khawatir bahwa pemerintah China dapat memaksa ByteDance untuk menyerahkan data pengguna TikTok yang berjumlah 170 juta orang di AS. TikTok membantah tuduhan tersebut dan menegaskan tidak akan memberikan data pengguna asing kepada pemerintah China. 

Pada bulan April, setelah disetujui oleh Kongres, Presiden Joe Biden menandatangani undang-undang yang membuka jalan bagi penjualan paksa TikTok. Upaya-upaya sebelumnya untuk memblokir aplikasi ini di AS dengan alasan keamanan nasional telah gagal, termasuk percobaan Donald Trump pada tahun 2020 untuk melarang TikTok. 

Namun, dalam kampanye pemilihan kembali untuk pemilu 2024, Trump mengkritik undang-undang baru ini dan menyatakan bahwa pembatasan TikTok akan menguntungkan Facebook secara tidak adil. Penandatanganan undang-undang oleh Biden tidak berarti TikTok akan segera dilarang di AS, tetapi memulai hitungan mundur. 

Undang-undang ini memberi ByteDance waktu sembilan bulan untuk menjual TikTok ke pembeli baru, dengan tambahan masa tenggang tiga bulan, sebelum larangan diterapkan. TikTok menyatakan bahwa ini berarti mereka bisa dipaksa untuk menjual atau menutup operasinya di AS pada 19 Januari 2025. 

Namun, perjuangan hukum TikTok yang dimulai dengan menggugat undang-undang tersebut pada bulan Mei bisa memakan waktu bertahun-tahun. Kemenangan Trump dalam pemilihan presiden AS 2024 juga dapat memberi harapan baru bagi TikTok. Trump, yang telah menyatakan bahwa dia tidak akan membiarkan larangan berlaku, mungkin akan mengubah arah kebijakan terhadap aplikasi ini. 

Cara yang paling langsung untuk melarang TikTok di AS adalah dengan menghapusnya dari toko aplikasi seperti yang dikelola oleh Apple dan Google, yang memungkinkan pengguna untuk mengunduh aplikasi.

 Langkah ini akan menghentikan pengguna baru untuk mendapatkan TikTok dan memblokir pembaruan keamanan atau perbaikan bug untuk pengguna yang sudah memiliki aplikasi tersebut. 

Undang-undang tersebut melarang aplikasi yang dikendalikan oleh negara-negara musuh AS, seperti Rusia, China, Iran, dan Korea Utara, untuk diperbarui dan dipelihara di AS. TikTok sebelumnya menyebut undang-undang ini "tidak konstitusional" dan menganggapnya sebagai serangan terhadap hak kebebasan berbicara di AS. 

Dalam sidang pengadilan banding di Washington DC pada bulan September, pengacara TikTok mengklaim bahwa larangan tersebut akan memberikan dampak yang "sangat besar" terhadap kebebasan berbicara pengguna TikTok di AS. 

Namun, banding TikTok ditolak oleh pengadilan tersebut pada 6 Desember, yang memutuskan mendukung undang-undang tersebut. TikTok mengatakan mereka akan melanjutkan pertempuran hukum ini ke Mahkamah Agung AS, dengan harapan mahkamah akan melindungi hak kebebasan berbicara warga negara AS. 

"kami tidak akan pergi ke mana-mana,” ucap CEO TikTok, Shou Zi Chew, dalam sebuah video kepada pengguna, dilansir dari BBC, Minggu, (8/12).

Banyak pengguna dan pembuat konten di AS yang mengkritik potensi larangan ini. Salah satunya adalah Tiffany Yu, seorang advokat disabilitas muda dari Los Angeles, yang mengatakan kepada BBC bahwa platform ini sangat penting bagi pekerjaannya. 

Pada Maret 2024, TikTok meminta 170 juta penggunanya di AS untuk menghubungi wakil rakyat mereka dan meminta mereka agar tidak mendukung undang-undang tersebut. Namun, kampanye tersebut tampaknya malah memperburuk kekhawatiran politisi tentang aplikasi ini dan semakin memperkuat tekad mereka untuk meloloskan undang-undang tersebut. 

Di balik popularitas TikTok, yang dikenal dengan algoritmanya yang sangat personal dalam menampilkan konten, terdapat kekhawatiran mengenai pengumpulan data pengguna. Aplikasi ini mengumpulkan berbagai informasi, mulai dari lokasi, perangkat yang digunakan, hingga pola ketikan pengguna, yang memberi kritik bahwa TikTok mengumpulkan lebih banyak data dibandingkan dengan platform media sosial lainnya. Namun, aplikasi seperti Facebook dan Instagram juga mengumpulkan data serupa dari penggunanya.

Redaktur: Muhammad Ihsan Karim

Penulis: Muhammad Ihsan Karim

Tag Terkait:

Bagikan: