Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kebijakan Moneter I Suku Bunga The Fed Tetap Bertahan Tinggi dalam Waktu Lama

Tidak Realistis Harapkan Rupiah Menguat

Foto : ANTARA/MAKNA ZAEZAR

BATASI IMPOR PANGAN I Pekerja membongkar muat tepung terigu di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta, beberapa waktu lalu. Jangan berharap rupiah menguat jika Indonesia tidak mengurangi impor pangan dan barang konsumsi dan memoratorium pembayaran bunga obligasi rekap BLBI.

A   A   A   Pengaturan Font

» Jangan harap rupiah menguat jika impor barang konsumsi dan pangan serta pembayaran Obligasi Rekap BLBI tidak dihentikan.

» CME FedWatch perkirakan, peluang hampir 68 persen the Fed akan menaikkan suku bunga 25 basis poin pada Juni.

JAKARTA - Tren kembali naiknya suku bunga the Fed, mau tidak mau akan memaksa otoritas moneter untuk menaikkan suku bunga.

"BI selama ini konservatif, dengan kabar ini mungkin dipaksa untuk sedikit lebih agresif," kata pengamat ekonomi dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Y Sri Susilo, Senin (29/5).

Kemajuan dalam investasi langsung, katanya, sangat perlu agar ada pasokan valuta asing (valas) yang cukup sehingga tekanan kurs bisa berkurang.

"Sebab di sisi investasi portofolio dengan the Fed terus naikkan suku bunga, memang duit cenderung akan lari ke sana," kata Susilo.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudisthira, yang diminta pendapatnya secara terpisah mengatakan kesepakatan utang AS tidak akan mengubah banyak ekspektasi kenaikan suku bunga the Fed. Tren suku bunga tinggi masih berlanjut setidaknya sepanjang 2023 karena masih banyak keraguan terkait kondisi likuiditas global.

Dampaknya pada Indonesia, kata Bhima, adalah pelemahan kurs rupiah karena menurunnya pendapatan ekspor komoditas dan ancaman capital outflow investasi asing di pasar surat utang.

Dia pun memperkirakan otoritas moneter yakni Bank Indonesia akan menaikkan suku bunga acuan untuk menahan outflow yang berlebihan.

Sementara itu, ekonom dari STIE YKP Yogyakarta, Aditia Heru Nurmoko mengatakan jangan berharap rupiah menguat jika belanja yang tidak produktif seperti impor barang konsumsi dan pangan serta beban utang yang besar dari pembayaran Obligasi Rekap (OR) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) tidak dihentikan.

"Kalau terus dipaksakan untuk intervensi yang menggerus cadangan devisa, sampai kapan BI bisa bertahan. Selama kita masih impor barang konsumsi dan pangan serta masih bayar bunga Obligasi Rekap BLBI yang bunga berbunga, lalu kita berharap rupiah menguat itu tidak realistis," katanya.

Besarnya impor barang konsumsi dan pangan membuat industri sektor riil terus melemah sehingga pemerintah harus meminta BI membeli obligasi pemerintah.

"BI seharusnya tidak boleh membeli obligasi pemerintah dengan alasan burden sharing karena hal itu sama saja dengan mencetak uang. Ini jelas-jelas yang membuat rupiah melemah. Dan bank yang menerima obligasi rekap harus menahan labanya sebagai kompensasinya, bukan mebagi-bagi dalam bentuk dividen," kata Aditia.

Dalam perdagangan Senin, kurs dollar AS terhadap rupiah berada di posisi 14.962,85. Dalam waktu dekat menurut UOB, dollar AS bisa menembus angka 15.000 rupiah.

Ekspektasi Pasar

Sementara itu, ketahanan ekonomi AS telah meningkatkan ekspektasi pasar akan kenaikan suku bunga Fed Fund Rate (FFR) lebih lanjut. Hal itu memicu penguatan dollar AS pada awal sesi perdagangan di Asia.

"Ekspektasi ini ditopang oleh data ekonomi AS yang membaik dan data indikator inflasi AS yang meninggi," kata pengamat pasar uang, Ariston Tjendra.

Pada Jumat pekan lalu, lanjut dia, data ekonomi AS menunjukkan hasil yang lebih baik dari ekspektasi.

Greenback tercatat membukukan kenaikan tertinggi baru dalam enam bulan ke posisi 140,91 yen per dollar AS dan menuju kenaikan bulanan lebih dari 3,0 persen terhadap mata uang Jepang.

Penurunan terbaru yen terjadi di balik kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah AS, karena taruhan meningkat bahwa suku bunga di AS akan tetap lebih tinggi dalam waktu yang lebih lama.

Data yang dirilis pada akhir pekan lalu menunjukkan belanja konsumen Amerika meningkat lebih dari yang diharapkan pada April dan inflasi meningkat, menambah tanda-tanda ekonomi yang masih tangguh.

Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS melonjak dengan imbal hasil dua tahun yang biasa mencerminkan ekspektasi suku bunga jangka pendek, naik lebih dari 10 basis poin ke level tertinggi lebih dari dua bulan di posisi 4,639 persen.

Obligasi pemerintah AS sendiri tidak diperdagangkan di Asia pada Senin, sehubungan dengan liburan Memorial Day di AS, sementara kontrak berjangka secara umum stabil. Imbal hasil tersirat berjangka sepuluh tahun mencapai 3,84 persen.

Terhadap dollar AS, euro turun 0,13 persen menjadi 1,0719 per dollar AS, sementara sterling turun 0,07 persen menjadi 1,2342 per dollar AS.

"Apakah dollar menopang reli yang kita lihat, saya pikir itu akan tergantung terutama pada data upah, atau pendapatan rata-rata dalam laporan gaji Jumat (2/6), dan jelas kita juga memiliki IHK sebelum Fed," kata Ray Attrill, Kepala Strategi Valas di National Australia Bank (NAB). "Masih banyak data mengalir sebelum kita sampai ke pertemuan bulan Juni," tambahnya.

Menurut alat CME FedWatch, pasar uang saat ini memperkirakan peluang hampir 68 persen the Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin pada Juni, dibandingkan dengan peluang sekitar 17 persen seminggu yang lalu.

Sentimen risiko di Asia didukung oleh berita pada akhir pekan bahwa Presiden AS, Joe Biden, telah menyelesaikan kesepakatan anggaran dengan Ketua Parlemen AS, Kevin McCarthy, untuk menangguhkan plafon utang 31,4 triliun dollar AS hingga 1 Januari 2025.

Biden mengatakan pada Minggu (28/5) bahwa kesepakatan itu siap untuk dibawa ke Kongres untuk pemungutan suara. "Sejauh ini, kami mendapat respons positif risiko terhadap berita kesepakatan utang," kata Attrill dari NAB.

Menteri Keuangan AS, Janet Yellen, pekan lalu, mengatakan pemerintah akan gagal bayar jika kongres tidak menaikkan plafon utang 31,4 triliun dollar AS pada 5 Juni, setelah sebelumnya mengatakan gagal bayar bisa terjadi paling cepat 1 Juni.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top