Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kebijakan Moneter I BI Diperkirakan Lakukan Evaluasi Dampak Kenaikan Bunga Global

The Fed dan ECB Kompak Naikkan Suku Bunga

Foto : Sumber: Federal Reserve - KORAN JAKARTA/ONES
A   A   A   Pengaturan Font

» Jika ekonomi masih lemah, peningkatan suku bunga tajam justru akan memperlambat pemulihan.

» Dana asing akan mengincar pasar negara berkembang yang menawarkan imbal hasil lebih tinggi.

JAKARTA - Dua bank sentral global yaitu Bank Sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve (The Fed) dan Bank Sentral Eropa (European Central Bank/ ECB) kompak menaikkan suku bunga acuan mereka untuk mengatasi inflasi.

Dalam Federal Open Market Committee (FOMC), pada Rabu (3/5) waktu Washington, the Fed menaikkan Fed Fund Rate (FFR) 0,25 persen ke level 5-5,25 persen atau yang kesepuluh kalinya sejak otoritas moneter AS itu memulai pertempuran melawan inflasi Maret 2022 lalu. Level tersebut juga tercatat sebagai yang tertinggi dalam 15 tahun terakhir.

Gubernur the Fed, Jerome Powell, kembali menekankan komitmen bank sentral untuk menurunkan inflasi, tetapi tidak menyertakan pernyataan beberapa pengetatan kebijakan tambahan. Kelalaian itu membuka kemungkinan jeda yang akan datang dalam kenaikan suku bunga.

"Orang-orang memang berbicara tentang jeda, tetapi tidak terlalu banyak pada pertemuan ini. Ada perasaan bahwa kita lebih dekat ke akhir daripada ke awal," kata Powell.

ECB pun tidak ketinggalan setelah pada Kamis (4/5) menaikkan suku bunga 25 basis poin atau 0,25 persen ke level 3,25 persen seperti yang diharapkan. ECB juga mengatakan akan berhenti menginvestasikan kembali uang tunai dari utang yang jatuh tempo dalam program pembelian aset 3,2 triliun euro mulai Juli.

Dilansir oleh Reuters, bank sentral untuk 20 negara euro itu telah menaikkan suku bunga gabungan sebesar 375 basis poin sejak Juli lalu, laju pengetatan tercepatnya, tetapi tindakan lebih lanjut masih mungkin terjadi karena tekanan upah dan harga yang meningkat.

Kenaikan suku bunga, pelambatan setelah tiga kali berturut-turut naik 50 basis poin, terjadi hanya beberapa hari setelah data perbankan zona euro menunjukkan penurunan permintaan pinjaman terbesar dalam lebih dari satu dekade.

Itu menunjukkan kenaikan suku bunga sebelumnya bekerja melalui ekonomi dan bahwa kebijakan ECB sekarang membatasi pertumbuhan.

Menanggapi kecenderungan suku bunga global yang naik, pengamat ekonomi dari Universitas Surabaya (Ubaya), Bambang Budiarto, mengatakan dampak dari peningkatan ekspektasi Federal Reserve terhadap siklus pengetatan sangat bergantung pada seberapa besar ekspektasi tersebut. Sebab itu, pemerintah dan investor di Tanah Air harus memperhatikan dengan baik kondisi ekonomi AS secara keseluruhan serta mengikuti dinamika kebijakan moneter Federal Reserve.

"Pada saat Federal Reserve meningkatkan ekspektasi guna menaikkan suku bunga, itu memang bisa menghentikan siklus pengetatan, yaitu kebijakan yang bertujuan untuk menekan inflasi dengan menaikkan suku bunga," kata Bambang.

Kendati demikian, dampak dari peningkatan ekspektasi Federal Reserve terhadap siklus pengetatan itu bergantung pada seberapa besar ekspektasi tersebut, dan juga pada kondisi ekonominya itu sendiri. Jika ekonomi sedang mengalami pemulihan yang kuat, kenaikan suku bunga yang moderat mungkin tidak akan menghentikan siklus pengetatan.

Sebaliknya, jika ekonomi masih lemah, peningkatan suku bunga yang tajam justru dapat memperlambat pemulihan ekonomi dan memperparah kondisi keuangan.

BI Lakukan Evaluasi

Secara terpisah, peneliti ekonomi Core, Yusuf Rendi Manilet, mengatakan dengan kebijakan bank sentral global tersebut, mau tidak mau harus dicermati otoritas moneter negara lain termasuk Indonesia.

"BI diperkirakan akan melakukan evaluasi bagaimana dampak dari kenaikan suku bunga acuan ini terhadap pasar keuangan di dalam negeri," kata Rendi.

Hal itu bertujuan untuk melihat apakah pasar keuangan akan melakukan respons dengan menarik dana dari RI keluar sehingga akan berdampak terhadap pelemahan nilai tukar dan berpotensi bermuara terhadap inflasi di dalam negeri.

Sementara itu, Direktur Celios, Bhima Yudisthira, mengatakan fenomena net buy dari asing yang masuk ke surat utang maupun ke pasar saham memang terjadi di pasar negara-negara berkembang (emerging market) karena situasi ekonomi di AS yang memburuk.

"Dimulai dari triple krisis, mulai dari krisis gagal bayar utang, kemudian krisis perbankan, dan terakhir ancaman resesi ekonomi. Jadi, banyak dana asing yang akhirnya mengincar negara-negara berkembang untuk mendapatkan imbal hasil yang jauh lebih tinggi," kata Bhima.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top