Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Teror Rentenir "Online"

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Oleh R Wulandari

Belum lama ini tersiar kabar penemuan seorang sopir taksi tewas gantung diri di kontrakan daerah Tegal Parang, Jakarta Selatan, diduga karena terlilit pinjaman online. Pihak berwajib menemukan sepucuk surat dekat korban yang berbunyi, "Kepada OJK dan pihak berwajib, tolong berantas pinjaman online yang telah membuat jebakan setan."

Kemajuan teknologi digital dewasa ini tampaknya telah ikut memudahkan orang berutang. Ratusan lembaga pinjaman berbasis teknologi (fintech) menawarkan pinjaman online secara mudah dan cepat. Cukup dengan modal kartu tanda penduduk (KTP), tanpa agunan apa pun, kucuran dana segar segera diperoleh.

Hal ini tentu sangat berbeda dengan prosedur kredit ke bank, juga diminta melampirkan berbagai dokumen lain, seperti slip gaji, NPWP, buku tabungan, kartu asuransi, dan kartu keluarga. Namun, di balik segala kemudahan serta kecepatan pelayanan jasa lembaga pijaman fintech, tidak menutup kemungkinan justru kemudian hari bisa sangat memberatkan para nasabah. Maka, masyarakat perlu berhati-hati sebelum meminjam dana lewat fintech.

Selain didorong kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), kehadiran perusahaan fintech juga karena masih banyak masyarakat sama sekali tidak dapat mengakses layanan perbankan. Benua Asia disebut-sebut sebagai salah satu pusat perkembangan fintech dunia. Ada sekitar 2.500 perusahaan rintisan (startup) fintech, yang dinilai berpotensi menggusur pasar tradisional perbankan. Untuk level negara, sejauh ini, Tiongkok menjadi pemain utama fintech global, dengan Alipay sebagai perusahaan pembayaran online terbesar dunia.

Di Indonesia sendiri, sampai Februari 2019, terdapat 99 perusahaan fintech yang telah terdaftar dan berizin dari OJK. Landasan hukum penyelenggaran fintech adalah Peraturan OJK Nomor 77/POJK01/2016 tentang Layanan Pinjam-meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Pasal 1 Peraturan OJK Nomor 77/POJK.01/2016 menyebutkan, perusahaan fintech adalah penyelenggaraan layanan jasa keuangan untuk mempertemukan pemberi dan penerima pinjaman dalam rangka perjanjian pinjam-meminjam dalam mata uang rupiah secara langsung melalui sistem elektronik berinternet.

OJK mewajibkan penyelenggara fintech melampirkan bukti kepemilikan modal minimal sebesar satu miliar rupiah saat pendaftaran. Modal tersebut harus ditingkatkan menjadi 2,5 miliar rupiah saat mengajukan izin. OJK membatasi pinjaman maksimal dua miliar dalam mata uang rupiah. Sementara itu, OJK tidak mengatur besaran bunga pinjaman. Jadi, besaran bunga pinjaman ditetapkan kreditur. Salah satu alasannya, bisnis peer to peer (P2P) lending berisiko tinggi.

Sikap OJK yang tidak mengatur besaran bunga di lapangan sering melahirkan persoalan bagi para nasabah lembaga pinjaman online. Tidak sedikit perusahaan fintech yang mematok tingkat suku bunga pinjaman tinggi, jika tidak boleh dikatakan mencekik, sampai 30 persen dari utang pokok. Belum lagi ditambah aturan denda harian yang nominalnya bisa mencapai puluhan ribu rupiah. Tak heran, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mendesak OJK untuk mengatur besaran maksimal bunga pinjaman online.

Masalah lainnya bertalian dengan aplikasi perangkat lunak pinjaman online yang ternyata mampu menyedot berbagai data pribadi milik nasabah. Di saat calon nasabah mendaftar, biasanya mereka perlu men-download aplikasi pinjaman. Aplikasi inilah yang kemudian menyedot data pribadi calon nasabah seperti alamat email, akun media sosial, foto ataupun video pribadi dan nomor kontak keluarga atau kerabat.

Banyak Korban

Data pribadi nasabah ini suatu saat bisa dijadikan alat untuk menekan atau meneror nasabah yang kebetulan menghadapi masalah dalam menyelesaikan pelunasan pinjaman. Padahal, Pasal 26 Peraturan OJK Nomor 77/POJK.01/2016 menyebutkan, penyelenggara pinjaman online wajib menjaga kerahasiaan, keutuhan, serta ketersediaan data (pribadi, transaksi, dan keuangan) nasabah. Kewajiban ini mulai sejak data diperoleh hingga tak terpakai yang harus dimusnahkan.

Faktanya, banyak kasus nasabah pinjaman online harus menanggung malu dan terpaksa berhenti bekerja karena debt collector menyebar masalah utangnya ke seluruh kontak. Beberapa lainnya merasa terintimidasi perkataan-perkataan kasar dan tidak senonoh para penagih utang. Ada pula nasabah yang menjadi korban pelecehan seksual penagih utang, di antaranya para penagih utang mengirimkan berbagai konten dan perkataan porno ke dalam grup percakapan WhatsApp.

Sampai Desember 2018, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta telah menampung kurang lebih 1.330 pengaduan korban pinjaman online. Sedangkan perusaan pinjaman online yang diadukan ada 89 penyelenggaraan. Dari jumlah itu, 25 di antaranya adalah perusahaan pinjaman online yang telah terdaftar di OJK. OJK sendiri kabarnya sejauh ini telah memblokir sekurangnya 231 perusahaan fintech ilegal.

Mengingat kemungkinan bakal semakin banyaknya korban, pemerintah mesti segera turun tangan ikut menertibkan lembaga-lembaga pinjaman online yang pada praktiknya tak lebih dari sekadar lembaga rentenir online. Selain memperketat perizinan dan pengawasan terhadap lembaga-lembaga pinjaman online juga perlu edukasi keuangan dan digital kepada masyarakat.

Edukasi keuangan dibutuhkan untuk mengerek tingkat literasi keuangan masyarakat yang masih rendah. Sedangkan edukasi digital diperlukan agar masyarakat semakin cerdas dalam bertransaksi digital. Banyaknya warga yang menjadi korban empuk praktik pinjaman online karena tingkat literasi keuangan dan digitalnya masih rendah.

Penulis manajer keuangan, Lulusan Manajemen Keuangan dan Perbankan

Komentar

Komentar
()

Top