Senin, 17 Mar 2025, 17:03 WIB

Terapi DBS untuk Penderita Distonia dan Sindrom Tourette

Foto: Antara

Jakarta - Terapi deep brain stimulation (DBS) merupakan salah satu solusi untuk menangani distonia (gangguan kedutan) dan sindrom tourette atau gerakan tak terkendali pada otot, terutama di area wajah dan otot vokal.

1742203248_5a9dcd0b8c36fbb03128.jpg

Menurut dokter spesialis neurologi di RS Siloam Lippo Village, Dr dr Rocksy Fransisca V Situmeang, SpN (K), distonia merupakan gangguan neurologi yang ditandai dengan kekakuan otot yang berkepanjangan dan di luar kendali, sehingga sering menyebabkan gerakan berulang dan postur tubuh menjadi tidak normal serta rasa nyeri yang mengganggu aktivitas sehari-hari.

Gejala distonia ditandai kedutan pada otot-otot wajah, otot vokal, dan otot-otot tangan serta kaki. Dr Rocksy menyebut bahwa untuk mendiagnosis distonia memerlukan evaluasi klinis mendalam, bahkan beberapa kasus memerlukan pemeriksaan tambahan seperti MRI atau tes genetik untuk memastikan penyebabnya.

“Dokter akan melakukan wawancara medis untuk mengetahui kapan gejala pertama kali muncul, apakah ada riwayat keluarga dengan kondisi serupa, serta faktor pemicu seperti stres atau trauma," kata Dr Rocksy dalam siaran pers pada Senin.

Adapun sindrom tourette merupakan gangguan neurologis kompleks yang ditandai dengan munculnya tics, yaitu gerakan otot yang tidak disadari. Sindrom Tourette lebih sering terjadi pada laki-laki dan diduga dipengaruhi oleh faktor genetik serta stres pada ibu hamil.

Diagnosis sindrom Tourette melibatkan wawancara klinis dan pengamatan jangka panjang terhadap gejala pasien. “Kami menilai frekuensi dan tingkat keparahan tics menggunakan skala khusus seperti Yale Global Tic Severity Scale (YGTSS). Jika skornya di atas 35/50, prosedur DBS bisa menjadi opsi yang dipertimbangkan,” kata Dr. Rocksy.

Terapi DBS

Dokter spesialis bedah saraf di RS Siloam Lippo Village, Dr. dr. Made Agus Mahendra Inggas, SpBS, menjelaskan bahwa DBS direkomendasikan bagi pasien dengan tingkat keparahan yang tinggi, terutama yang mengalami distonia umum (general) atau sindrom tourette berat.

Evaluasi sebelum prosedur melibatkan diskusi antara dokter spesialis saraf dan bedah saraf, serta keluarga pasien untuk memastikan apakah prosedur ini merupakan pilihan terbaik.

Selain itu, pasien harus menjalani serangkaian pemeriksaan neurologis dan psikologis untuk mengidentifikasi apakah ada kontraindikasi medis sebelum operasi.

Prosedur DBS dimulai dengan diagnosis dan evaluasi menggunakan MRI guna memastikan tidak ada kelainan otak lain, seperti tumor atau riwayat stroke. Pasien juga menjalani serangkaian tes psikologis dan neurologis guna mengevaluasi kondisi secara menyeluruh.

Sebelum tindakan, pasien diminta mencukur rambut untuk meminimalkan risiko infeksi. Head frame dipasang di kepala untuk menentukan titik stimulasi di otak. Selanjutnya, dilakukan CT scan yang digabungkan dengan hasil MRI untuk penentuan lokasi pemasangan elektroda secara akurat.

Setelah itu, elektroda DBS dipasang di area target otak, yaitu globus pallidus internus (GPI) untuk penderita distonia atau thalamus medial untuk sindrom tourette. Selama operasi, pasien tetap sadar agar dokter dapat mengevaluasi efek stimulasi secara langsung.

Pasien akan menjalani perawatan inap selama 3-5 hari untuk pemantauan kondisi. DBS akan diaktifkan dua minggu setelah pemasangan untuk memastikan hasil yang optimal.

“Distonia memiliki peluang sembuh lebih tinggi dibandingkan dengan sindrom Tourette yang terkait dengan faktor psikologis. Namun, DBS tetap membantu meningkatkan kualitas hidup pasien secara signifikan,” kata Dr Made.

DBS juga dapat ditinjau secara secara berkala jika efeknya mulai berkurang. Selain itu, ia berpesan agar pasien tetap menjalani terapi dan kontrol rutin untuk memastikan bahwa stimulasi terapi DBS yang diberikan tetap optimal.

Redaktur: -

Penulis: Antara, Ones

Tag Terkait:

Bagikan: