Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Teleskop Gravitasi Matahari Jadi Terobosan bagi Bidang Astronomi

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Efek lengkung dari gravitasi medan magnet matahari dapat menciptakan pencitraan astronomi lebih maju. Melalui teleskop gravitasi, ilmuwan bisa menangkap gambar eksoplanet kecil yang sangat jauh dengan hasil 1.000 kali lebih kuat dari teknologi yang ada saat ini.

Sejak eksoplanet atau planet di luar tata surya pertama ditemukan pada 1992, saat ini para astronom telah menemukan lebih dari 5.000 planet yang mengorbit bintangnya. Sayangnya para astronom masih kesulitan dalam mendeteksi karena keterbatasan teknologi teleskop.
Untuk menghindari kendala fisik teleskop, astrofisikawan Universitas Stanford telah mengembangkan teknik pencitraan konseptual baru. Teknik ini diklaim mampu menghasilkan gambar 1.000 kali lebih tepat daripada teknologi pencitraan terkuat yang saat ini digunakan.
Dengan memanfaatkan efek lengkung gravitasi pada ruang-waktu yang disebut lensa gravitasi (gravitational lensing), para ilmuwan berpotensi memanipulasi fenomena ini untuk menciptakan pencitraan yang jauh lebih maju daripada yang tersedia saat ini.
Dalam sebuah makalah yang diterbitkan pada The Astrophysical Journal edisi 2 Mei 2022 lalu, para peneliti menjelaskan cara untuk memanipulasi lensa gravitasi matahari untuk melihat planet di luar tata surya. Mereka menempatkan secara berurutan yaitu teleskop, matahari, dan planet ekstrasurya dalam satu garis. Matahari berada tengah karena medan gravitasinya dimanfaatkan untuk mendeteksi eksoplanet.
Para ilmuwan kemudian menggunakan medan gravitasi matahari untuk memperbesar cahaya dari planet ekstrasurya yang lewat. Berbeda dengan kaca pembesar yang memiliki permukaan lengkung yang membelokkan cahaya, lensa gravitasi memiliki ruang-waktu melengkung yang memungkinkan pencitraan objek jauh.
"Kami ingin mengambil gambar planet yang mengorbit bintang lain yang sebagus gambar planet di tata surya kita sendiri," kata profesor fisika di School of Humanities and Sciences dan Wakil Direktur Institut Kavli untuk Astrofisika dan Kosmologi Partikel (KIPAC) Universitas Stanford, Bruce Macintosh.
"Dengan teknologi ini, kami berharap dapat mengambil gambar eksoplanet pada jarak 100 tahun cahaya yang memiliki dampak sama seperti ketika gambar Apollo 8 yang mengambil gambar Bumi dari ruang angkasa," lanjut dia.
Namun teknik yang diusulkan peneliti Universitas Stanford itu membutuhkan perjalanan ruang angkasa yang lebih maju daripada yang tersedia saat ini karena harus menempatkan teleskop di tempat tepi tata surya. Kemampuan untuk menyajikan gambar yang revolusioner membuatnya layak untuk terus dipertimbangkan dan dikembangkan.
Lensa gravitasi telah diamati secara eksperimental sejak 1919 yang dilakukan pada saat gerhana Matahari terjadi. Ketika Bulan menghalangi cahaya dari Matahari yang diterima di Bumi, para ilmuwan dapat melihat bintang-bintang di dekat Matahari diimbangi dari posisi mereka yang diketahui.
Dari fenomena yang tersebut para astronom memiliki bukti tegas bahwa gravitasi dapat membelokkan cahaya. Dari pengamatan ini sekaligus membuktikan kebenaran dari teori relativitas umum yang dikembangkan oleh Albert Einstein.
Teori Einstein itu menjelaskan konsentrasi massa mendistorsi ruang di sekitar mereka. Lensa gravitasi dapat terjadi ketika sejumlah besar materi, seperti sekelompok galaksi, menciptakan medan gravitasi yang mendistorsi dan memperbesar cahaya dari galaksi jauh yang berada di belakangnya tetapi dalam garis pandang yang sama.
Efek dari lensa gravitasi seperti melihat melalui kaca pembesar raksasa. Hal ini memungkinkan peneliti untuk mempelajari detail dari objek luar angkasa yang jauh seperti eksoplanet dan galaksi awal yang terlalu jauh untuk dilihat dengan teknologi dan teleskop saat ini.
Pada 1979, Von Eshleman, seorang profesor Stanford, menerbitkan laporan terperinci tentang bagaimana para astronom dan pesawat ruang angkasa dapat mengeksploitasi lensa gravitasi matahari. Hal inilah yang turut mendorong KIPAC di Universitas Stanford sekarang secara rutin menggunakan gravitasi kuat dari galaksi paling masif untuk mempelajari evolusi awal alam semesta. Tetapi baru pada 2020, teknik pencitraan dieksplorasi secara rinci untuk mengamati planet.

Metode Baru
Slava Turyshev dari Laboratorium Propulsi Jet Institut Teknologi California menggambarkan teknik teleskop berbasis ruang angkasa dapat menggunakan roket untuk memindai di sekitar sinar cahaya dari sebuah planet untuk merekonstruksi gambar dengan jelas, meski tantangannya adalah membutuhkan banyak bahan bakar dan waktu.
Berdasarkan karya Slava G Turyshev, Alexander Madurowicz, seorang mahasiswa PhD di KIPAC, menemukan metode baru yang dapat merekonstruksi permukaan planet dari satu gambar yang diambil dengan melihat langsung ke Matahari. Dengan menangkap cincin cahaya di sekitar Matahari yang dibentuk oleh planet ekstrasurya kemudian diciptakan algoritma.
Algoritma yang dirancang Madurowicz dapat mendistorsi cahaya dari cincin dengan membalikkan pembengkokan lensa gravitasi, yang mengubah cincin kembali menjadi planet bulat. Ia lalu mendemonstrasikan karyanya dengan menggunakan gambar Bumi yang berputar yang diambil oleh satelit Deep Space Climate Observatory (DSCOVR) yang berada di antara Bumi dan Matahari.
Kemudian, ia menggunakan model komputer untuk melihat seperti apa Bumi saat diintip melalui efek melengkung dari gravitasi matahari. Dengan menerapkan algoritma pada pengamatan, Madurowicz dapat memulihkan gambar Bumi dan membuktikan bahwa perhitungannya benar.
Untuk menangkap gambar planet ekstrasurya melalui lensa gravitasi matahari, teleskop harus ditempatkan setidaknya 14 kali lebih jauh jarak Matahari ke Pluto antara 4,4 - 7,3 miliar kilometer.
Jarak ini lebih jauh dari jarak penjelajahan pesawat ruang angkasa yang pernah ada. Namun jarak itu dalam kecepatan cahaya hanya sepersekian tahun cahaya antara Matahari dan planet ekstrasurya.
"Dengan melepaskan cahaya yang dibelokkan oleh matahari, sebuah gambar dapat dibuat jauh melampaui teleskop biasa," kata Madurowicz. "Jadi, potensi ilmiah adalah misteri yang belum dimanfaatkan karena membuka kemampuan pengamatan baru yang belum ada," ujar dia. hay/I-1

Mencari Kehidupan di Planet Ekstrasurya

Penemuan dan penelitian planet-planet ekstrasurya atau eksoplanet penting untuk menjawab pertanyaan apakah ada kehidupan lain di luar Bumi. Sayangnya karena keterbatasan teknologi, kebanyakan eksoplanet yang ditemukan berupa planet gas raksasa seperti Jupiter, bukan planet kecil padat berbatu seperti Bumi yang memungkinkan adanya kehidupan.
Menurut mahasiswa PhD di Institut Kavli untuk Astrofisika dan Kosmologi Partikel (KIPAC), Alexander Madurowicz, saat ini untuk mencitrakan sebuah planet ekstrasurya pada resolusi yang seperti yang dikembangkan oleh astrofisikawan Universitas Stanford, memerlukan teleskop dengan lebar 20 kali dari Bumi.
Dengan menggunakan gravitasi matahari yang berperan seperti teleskop, para ilmuwan dapat memanfaatkan ini sebagai lensa alami yang sangat besar. Teleskop seukuran Hubble yang dikombinasikan dengan lensa gravitasi matahari akan cukup untuk memotret planet ekstrasurya dengan kekuatan yang cukup untuk menangkap detail halus di permukaan.
"Lensa gravitasi matahari membuka jendela yang sama sekali baru untuk observasi," kata Madurowicz. "Ini akan memungkinkan penyelidikan dinamika terperinci dari atmosfer planet, serta distribusi awan dan fitur permukaan, yang tidak dapat kami selidiki sekarang," imbuh dia.
Madurowicz dan profesor fisika di School of Humanities and Sciences di Stanford dan Wakil Direktur Institut Kavli untuk Astrofisika dan Kosmologi Partikel (KIPAC), Bruce Macintosh, sepakat dibutuhkan waktu minimal 50 tahun atau lebih lama lagi sebelum teknologi ini dapat digunakan.
Agar ini dapat diadopsi, diperlukan pesawat luar angkasa yang lebih cepat, untuk menangkap gambar dari posisi yang diharapkan. Sedangkan dengan teknologi saat ini, dibutuhkan waktu 100 tahun untuk melakukan perjalanan ke lokasi yang jaraknya 14 kali lebih jauh dari Matahari ke Pluto.
Menggunakan layar surya atau matahari sebagai ketapel gravitasi, waktunya bisa sesingkat 20 atau 40 tahun. Terlepas dari ketidakpastian garis waktu, kemungkinan untuk melihat apakah beberapa planet ekstrasurya memiliki benua atau lautan, kata Macintosh.
Kehadiran keduanya merupakan indikator kuat bahwa mungkin ada kehidupan di planet yang jauh.
"Ini adalah salah satu langkah terakhir dalam menemukan apakah ada kehidupan di planet lain," kata Macintosh. "Dengan mengambil gambar planet lain, Anda bisa melihatnya dan mungkin melihat contoh hijau yang merupakan hutan dan bercak biru yang merupakan lautan dengan itu, akan sulit untuk membantah bahwa ia tidak memiliki kehidupan," ujar dia. hay/I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat
Penulis : Haryo Brono

Komentar

Komentar
()

Top