Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2024 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Jum'at, 11 Mei 2018, 01:00 WIB

Tata Niaga Pangan Perlu Diperbaiki

Foto: istimewa

Penurunan poduksi dan inefisiensi rantai pasokan pangan membuat harga beras tetap bertengger di level tinggi saat ini.

Jakarta - Harga beras yang tak kunjung turun saat ini menunjukkan kompleksitas permasalahan mulai dari hulu hingga hilir di sektor pangan. Di satu sisi, penurunan produksi dianggap menjadi biang keladi lonjakan harga pangan karena berkurangnya pasokan.

Namun, di saat pasokan meningkat seiring pembukaan keran impor beras beberapa waktu lalu tak serta merta mampu mendorong penurunan harga bahan pokok masyarakat Indonesia tersebut sekalipun pemerintah mengintervensi pasar dengan menetapkan harga eceran tertinggi (HET). Karena itu, pemerintah perlu berupaya keras untuk memacu produktivitas pangan dan mengatasi hambatan dalam rantai pasokan.

Pakar Pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas, menegaskan sebenarnya sudah banyak pihak yang memberikan peringatan ke pemerintah, terkait masalah produksi sepanjang 2017 yang mana volumenya lebih rendah dari 2016.

"Artinya, upaya mengisi cadangan pemerintah perlu diputuskan pada 2017, ketika produksi turun, sehingga ketika terjadi gejolak harga pada 2018, pemerintah tinggal gelontorkan cadangannya," ujarnya kepada Koran Jakarta, Kamis (10/5).

Kendati banyak saran, di sisi lain pemerintah tetap yakin produksi gabah di tingkat petani masih tinggi, sehingga keputusan penguatan cadangan beras pemerintah itu tidak kunjung dilakukan. Itu baru diputuskan pada Januari lalu, padahal pada Oktober 2017 harga gabah sudah menembus 4.800-5.000 rupiah per kilogram (kg) jauh di atas harga pembelian pemerintah (HPP) Bulog yang sekitar 3.800 rupiah per kg.

Keengganan pemerintah mengoreksi data produksinya berdampak pada efektivitas impor beras sebanyak 500 ribu ton. Sayangnya, impor beras ternyata tidak mampu menurunkan harga beras hingga harga eceran tertinggi (HET) yang dipatok pemerintah.

"Tidak kunjung turunnya harga beras menunjukan stok benar-benar kosong ketika memasuk 2018. Panen yang dilakukan sejak awal 2018 tidak mampu menutupi defisit," tegas Dwi.

Dwi yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (ABD2TI) menyebutkan dari pengecekan di 19 kabupaten di Indonesia, impor beras sebanyak 500 ribu ton tidak mampu menurunkan harga. Ini mengindikasikan di daerah-daerah benar-benar terjadi kekosongan stok sebagai imbas dari kurangnya produksi pada 2017.

Distribusi Tak Efisien

Di sisi lain, peneliti ekonomi Indef, Nailul Huda, mengatakan permasalahan utama mengatasi tinginya harga beras ialah stok Bulog serta proses distribusinya. Huda setuju dengan pernyataan Menteri Pertanian, Amran Sulaiman, bahwa saat ini memang banyak middle man (atau pedagang pengumpul) dalam distribusi beras nasional.

Diakuinya, ada lima hingga tujuh pemain dalam distribusi beras sehingga tidak efisien. Margin harga antara harga produsen dan harga konsumen sangat lebar. Yang menikmati justru middle man atau pedagang pengumpul ini. Bahkan, margin perdagangan paling besar dinikmati oleh kelompok ini. "Buktinya, upah buruh petani semakin turun," ungkap Huda.

ers/E-10

Redaktur: Muchamad Ismail

Penulis: Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.