Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Pengelompokan Negara I RI Butuh Keajaiban untuk Jadi Negara Berpendapatan Tinggi

Tanpa Reformasi Struktural RI Hanya Tunggu Keajaiban

Foto : JAY DIRECTO/AFP

Lebih sulit I Kepala Ekonom Grup Bank Dunia, Indermit Gill mengatakan, masa depan akan lebih sulit bagi Indonesia, negara dengan perekonomian terbesar di Asia Tenggara.

A   A   A   Pengaturan Font

Sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia, Indonesia tidak mungkin seperti sekarang ini, terus bergantung pada negara luar untuk memenuhi pangan. "Impor pangan itu basisnya dollar AS. Untuk membeli gandum, kedelai, susu, dan daging sapi semuanya impor, semuanya menggunakan dollar AS. Kalau pendapatan kita rupiah, tapi kebutuhan makan kita dalam dollar, bagaimana kita bisa lepas dari perangkap kemiskinan.

Bank Dunia benar memang perlu keajaiban bagi Indonesia untuk bisa keluar dari jebakan pendapatan menengah," katanya. Hal itu terjadi karena semua industri dalam negeri dimatikan demi rent seeking. Praktik seperti itu membuat industri lokal sulit bersaing, karena kepentingan pribadi atau kelompok lebih diutamakan daripada pengembangan industri dalam negeri. Ini adalah salah satu penyebab utama mengapa ekonomi Indonesia sulit beranjak dari status menengah.

Di saat yang sama, menurut Maruf, salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Indonesia adalah utang. "Bunga utang saja sudah sulit dikejar, apalagi membayar pokok utangnya," jelas Maruf. Saat ini, utang Indonesia sudah mencapai lebih dari 500 miliar dollar AS dan hanya untuk membayar bunganya saja, Pemerintah harus kembali berutang. "Utang dipakai untuk konsumsi dan membayar utang, bukan untuk pengembangan sektor produktif seperti pertanian atau pangan," katanya.

Talangi Perampok BLBI Pemerintah, jelasnya, malah menalangi utang perampok Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang sampai kini tidak ditagih, bahkan mereka dijadikan kroni. Hasil devisa yang didapat para kroni itu malah dibawa lari ke luar negeri. Menteri Keuangan sendiri tidak menggunakan hak tagih, padahal ada MRNIA dan MSAA. "Selama ini, wacana yang dibangun seolah-olah itu biaya krisis perbankan, padahal yang terjadi sesungguhnya itu adalah kejahatan perbankan. Pelanggaran pidana dengan MRNIA dan MSAA tidak ditagih," katanya. Sementara itu, industri dalam negeri dibiarkan sehingga tidak bisa bersaing dengan Tiongkok untuk mendapat devisa.

"Kita banggakan Shopee dan Tokopedia, padahal itu sumber habisnya devisa Indonesia, karena barang yang mereka jual dari luar negeri semua, terutama Tiongkok," katanya. Indonesia, jelas Maruf, bukannya tidak bisa keluar dari middle income trap, tapi tidak mau. Solusi Bank Dunia 3I (investasi, infusi, dan inovasi) dinilai tidak relevan karena Indonesia berbeda dengan Korea Selatan yang saat krisis juga menjadi pasien Bank Dunia. "Obat Bank Dunia pun tidak ada gunanya. Kita bukan sekutu AS.
Halaman Selanjutnya....


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top