Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Arah Pembangunan I Ekonomi Indonesia Terus Bergantung pada Impor Barang Konsumsi

Tanpa Misi Pembangunan yang Jelas, RI Semakin Sulit Kompetitif di Dunia

Foto : Sumber: The Global Competitiveness Report 2023
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Menjelang pergantian kepemimpinan nasional pada Oktober 2024 mendatang, pemerintah diharapkan mempunyai visi dan misi pembangunan setidaknya dalam 5-6 tahun ke depan. Jika tidak, Indonesia makin kehilangan kesempatan untuk bersaing di kancah global.

Perlunya misi pembangunan yang jelas karena selama ini Indonesia kalah bersaing dengan negara-negara di dunia karena tidak punya daya saing pada industri dasar dan kurang menguasai teknologi.

Hal itu karena kualitas sumber daya manusia (SDM) yang sangat rendah, baik dari kualifikasi pendidikan serta tidak memiliki skill. Kondisi tersebut makin diperparah dengan semakin sulitnya lapangan kerja, sehingga pemerintah terpaksa menyerap dengan merekrut sebagai birokrasi atau Aparatur Sipil Negara (ASN) yang tidak punya produktivitas. Sebab itu, akan sulit berharap banyak jika dalam 10 tahun ke depan kebijakan politik, terutama arah pembangunan, tidak jelas.

Direktur Narasi Institut, Achmad Nur Hidayat, mengatakan bahwa yang paling bermasalah dari ekonomi RI dalah selama ini pertumbuhan ekonomi sangat tergantung pada konsumsi domestik. Konsumsi tersebut sangat bergantung pada barang-barang impor bahkan di konsumsi paling primer yakni pangan dan sandang.

Sebaliknya, di negara-negara kompetitor seperti Vietnam dan Thailand justru terus mengalami percepatan daya saing sehingga bisa dikatakan Indonesia mengarah pada kehilangan misi pembangunan.

Dia pun menyoroti angka Incremental Capital Output Ratio (ICOR) yang merupakan indikator efisiensi investasi dalam menghasilkan output atau pertumbuhan ekonomi. ICOR dihitung dengan membagi penambahan investasi (capital) dengan penambahan output (GDP).

Nilai ICOR yang rendah menunjukkan efisiensi tinggi. Artinya dibutuhkan investasi yang lebih sedikit untuk menghasilkan satu unit pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, nilai ICOR yang tinggi menunjukkan efisiensi investasi yang lebih rendah.

"Data yang menunjukkan ICOR Indonesia yang meningkat menjadi 7,3 di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi sejak tahun 2014 hingga 2022, dibandingkan dengan periode sebelumnya di era Orde Baru dan pemerintahan SBY, memang mengindikasikan daya saing kita makin lemah. Investasi sebagai penopang pertumbuhan makin kecil value-nya," papar Achmad.

Pada kesempatan lain, pakar sosiologi sekaligus pengamat perdesaan dari Universitas Brawijaya, Malang, Imron Rozuli, mengatakan bantuan sosial bukan cara yang tepat dalam mengentaskan kemiskinan karena hanya bersifat sementara sehingga pemerintah harus menerapkan strategi yang berkelanjutan seperti pemberdayaan sektor riil.

"Target penanggulangan kemiskinan sulit dicapai karena cara yang dilakukan sangat karitatif dan bersifat hanya sebagai sekoci sementara. Bukan menjadi desain strategis yang berkelanjutan. Jika upaya yang digunakan didesain secara berkelanjutan maka akan memberikan fondasi yang cukup kuat dan terukur," kata Imron.

Kalau sektor riil diperkuat maka akan memantik pertumbuhan ekonomi, juga mendorong pencipta lapangan kerja sekaligus bisa mengarah bagi arah pengurangan kemiskinan. Jika alokasi bansos sekitar 460 triliun itu diarahkan pada usaha produktif dengan basis sumber daya dari warga miskin, akan memiliki jangkauan ke depan yang lebih berkelanjutan.

Dampak Buruk

Sementara itu, Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti, mengaku sulit membayangkan jika kondisi itu menimpa Indonesia ke depan, sebab dampak buruknya terhadap ekonominya sangat besar.

Oleh karena itu, perlu good will dari pemerintah agar punya visi misi yang jelas mau dibawa ke arah mana Indonesia ini. Visi misi jelas tidak cukup harus disertai langkah kebijakan yang konkret tanpa embel-embel business interest maupun politic interest.

"Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah betul-betul mempertimbangkan public interest (kepentingan publik), bukan kepentingan oligarki yang memperkaya sekelompok orang," tegas Esther.

Untuk itu, perlu membangun SDM yang berkualitas dengan meningkatkan kualitas pendidikan sehingga tenaga kerja Indonesia punya skill dan matching dengan pasar tenaga kerja.

Kemudian, membangun rantai pasok industri dari hulu sampai hilir sehingga Indonesia bisa meningkatkan nilai ekspor Indonesia. Begitu pula dengan upaya mengurangi biaya logistik dengan membenahi infrastruktur dan memberi subsidi biaya logistik agar produk Indonesia bisa penetrasi dan bersaing di pasar global.

Hal yang tidak kalah penting adalah meningkatkan riset dan pengembangan serta penguasan teknologi agar bisa menciptakan produk baru yang inovatif.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top