Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Pengelolaan Anggaran I Alarm Fiskal Terus Berbunyi kalau Terus Mengandalkan Utang

Tanpa Ketahanan Pangan dan Energi, APBN Terus Tersandera Utang dan Subisidi

Foto : Sumber: Kementerian Keuangan - Litbang KJ/and - kj
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akan terus tersandera utang dan subsidi jika pemerintah tidak punya keberanian mengupayakan ketahanan pangan dan energi. Sedikit gejolak harga minyak dunia saja dan kurs rupiah yang melemah seperti saat ini, maka biaya pembayaran cicilan dan bunga utang akan melonjak. Selain itu, dengan kurs rupiah yang merosot mengakibatkan biaya subsidi yang membengkak.

Direktur Celios, Bhima Yudisthira, mengatakan situasi APBN perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Anggaran untuk belanja semakin naik, apalagi banyak program membutuhkan anggaran besar tahun depan. Sementara penerimaan pajak juga menantang karena daya beli melemah dan permintaan ekspor berkurang.

Alarm fiskal, jelasnya, terus berbunyi karena pemerintah cuma mengandalkan utang untuk menutup pelebaran defisit APBN.

"Jika gali lubang tutup lubang semakin dalam, konsekuensinya adalah kredibilitas fiskal turun dan bunga yang harus dibayar akan naik. Peringkat utang Indonesia sedang dipertaruhkan, dan hati-hati, tahun depan bayar bunga makin mahal," tegas Bhima.

Rektor Universitas Airlangga, Mohammad Nasih, yang ditemui baru-baru ini, mengatakan pembayaran utang pokok dan bunganya jelas membebani APBN. Oleh sebab itu, ia berharap pemerintah mengajukan keringanan dan penundaan pembayaran bunga demi memperkuat realisasi program pembangunan yang nyata.

"Pasti terbebani. Kita meniru Amerika saja. Amerika utangnya banyak, tapi mereka berani minta keringanan pada negara-negara donornya. Kalau tidak begitu, susah. Atau minta semacam penangguhan, kalau tidak begitu, tidak bisa," kata Nasih.

Saat ini, kata Nasih, semua pihak sedang menunggu hasil dari pembangunan jalan tol yang kemarin investasi besar-besaran, tapi sekarang belum muncul hasilnya.

"Tapi kalau nanti dari hasil pembangunan tol itu bisa sangat produktif, menggerakkan ekonomi, ya bagus. Karena bisa menutup utang. Itu pilihan. Tapi memang belum terlihat, menunggu pemulihan ekonomi dan lain-lain, baru bisa dikatakan produktif. Butuh waktu," katanya.

Pada kesempatan lain, Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti, menegaskan dengan melihat ancaman semakin tersanderanya APBN oleh utang dan impor maka sudah menjadi keharusan pemerintah untuk mewujudkan swasembada pangan.

"Ini bukan hal tidak mungkin, tetapi sudah pernah terjadi pada tahun 1984. Food security sangat penting, karena pangan yang dicukupi lewat impor, berarti pangan kita bergantung pada negara lain, sangat berbahaya," kata Esther.

Apalagi negara tersebut mengalami food shortage, otomatis mereka tidak akan menjual bahan pangan ke negara lain, sementara Indonesia sudah tergantung sehingga ada kemungkinan bisa mendapat bahan pangan dari negara lainnya, tapi dengan harga yang sangat tinggi. Dampaknya harga pangan domestik lebih tinggi lagi dan mengakibatkan inflasi.

"Jadi, swasembada pangan akan menjaga stabilitas harga dan stabilitas nilai tukar karena kita tidak perlu menggunakan valuta asing (valas) seperti dollar AS untuk impor pangan," ungkap Esther.

Memicu Inflasi

Ekonom STIE YKP Yogyakarta, Aditya Hera Nurmoko, menyampaikan bahwa kenaikan harga subsidi energi akan berdampak signifikan terhadap ekonomi masyarakat menengah ke bawah, sehingga pemerintah sebisa mungkin harus menghindari kondisi tersebut.

Aditya menegaskan bahwa kenaikan harga energi subsidi, terutama BBM bersubsidi, akan memberikan beban tambahan yang signifikan bagi masyarakat.

"Kenaikan harga energi subsidi akan langsung berdampak pada daya beli masyarakat. Dengan harga BBM bersubsidi yang lebih tinggi, biaya transportasi dan kebutuhan sehari-hari akan meningkat, membuat masyarakat harus mengeluarkan lebih banyak uang untuk kebutuhan dasar mereka," kata Aditya.

Selain masyarakat bawah, kelas menengah pun yang pendapatannya terbatas akan terbebani. Kenaikan harga energi bersubsidi juga dapat memicu inflasi karena energi merupakan komponen utama dalam biaya produksi dan distribusi barang.

"Inflasi yang tinggi akan mengurangi daya beli masyarakat secara keseluruhan dan dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi," tambahnya.

Aditya juga mengingatkan bahwa kebijakan yang meningkatkan beban masyarakat dapat memicu ketidakpuasan dan ketidakstabilan sosial. "Pemerintah perlu menghindari kebijakan yang dapat memicu protes dan keresahan di masyarakat. Kita harus menjaga stabilitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat," tegasnya.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top