Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Pengelolaan APBN I Kurangi Kebergantungan pada Komoditas

Surplus Anggaran Semu dan Kurang Berkualitas

Foto : Sumber: Kementerian Keuangan – Litbang KJ/and - KJ
A   A   A   Pengaturan Font

>> Sektor manufaktur mengalami pemulihan sehingga menopang kinerja ekspor nasional.

>> Pembalikan arah harga komoditas karena pelambatan ekonomi global bisa menekan neraca perdagangan.

JAKARTA - Surplus Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dibanggakan pemerintah dinilai semu dan kurang berkualitas karena sewaktuwaktu bisa kembali defisit jika harga komoditas global turun.

Sebab itu, sudah seharusnya pemerintah tidak terlalu bergantung pada ekspor komoditas, tetapi memacu program hilirisasi produk. Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pidato kenegaraan di depan sidang tahunan MPR,DPR, dan DPD di Jakarta, Selasa (16/8), mengatakan Indonesia termasuk negara yang berhasil mengatasi pandemi dan memulihkan ekonomi lebih cepat. "Indonesia mendapatkan apresiasi sebagai salah satu negara yang berhasil mengatasi pandemi dan memulihkan ekonominya dengan cepat.

Pemulihan ekonomi Indonesia dalam tren yang terus menguat, tumbuh 5,01 persen di triwulan I 2022 dan menguat signifikan menjadi 5,44 persen di triwulan II tahun 2022," kata Presiden. Kepala Negara menjelaskan bahwa sektor-sektor strategis seperti manufaktur dan perdagangan tumbuh secara ekspansif, didukung oleh konsumsi masyarakat yang mulai pulih, serta solidnya kinerja ekspor.

Neraca perdagangan juga telah mengalami surplus selama dua puluh tujuh bulan berturut-turut. "Sektor manufaktur yang mengalami pemulihan kuat menopang tingginya kinerja ekspor nasional. Hal ini mencerminkan keberhasilan strategi hilirisasi industri yang kita jalankan sejak tahun 2015," kata Presiden.

Kinerja ekspor yang positif juga didukung oleh sektor pertambangan seiring meningkatnya harga komoditas global. Sektor transportasi dan akomodasi yang paling terdampak pandemi juga mulai mengalami pemulihan, yakni masing- masing tumbuh 21,3 persen dan 9,8 persen pada triwulan II tahun 2022. "Pada Juli 2022, Indikator Purchasing Managers' Index (PMI) meningkat menjadi 51,3 persen, mencerminkan arah pemulihan yang makin kuat pada semester II," jelas Jokowi. Selain itu, laju inflasi Indonesia juga masih jauh lebih moderat dibandingkan dengan negara-negara lain.

Per Juli 2022, tingkat inflasi Indonesia sebesar 4,9 persen (year on year). Hal itu ditopang oleh peran APBN dalam menjaga stabilitas harga energi dan pangan. Konsekuensinya, anggaran subsidi dan kompensasi energi pada tahun 2022 meningkat menjadi 502 triliun rupiah. Presiden dalam kesempatan itu mengingatkan semua pihak untuk terus waspada ke depan karena risiko gejolak ekonomi global masih tinggi.

Perlambatan ekonomi dunia tetap berpotensi memengaruhi laju pertumbuhan ekonomi domestik dalam jangka pendek. Sebab, bank-bank sentral hampir semuanya menaikkan suku bunga guna meredam inflasi yang melonjak tajam. Kenaikan suku bunga tersebut sedikit menghambat laju pemulihan ekonomi.

"Dengan berbagai tekanan tersebut, Dana Moneter Internasional (IMF) memprediksi pertumbuhan ekonomi global melambat signifikan dari 6,1 persen di tahun 2021 menjadi 3,2 persen di tahun 2022 dan terus melambat menjadi 2,9 persen di tahun 2023," kata Kepala Negara.

Pacu Manufaktur

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudisthira, yang diminta pendapatnya, mengatakan bisa dibilang puncak dari kenaikan harga komoditas itu sudah mulai lewat karena ada perang di Ukraina betul menggangu pasokan, ada kemungkinan juga eskalasi militer di Taiwan, tetapi di sisi yang lain ada resesi ekonomi global.

Presiden Jokowi, katanya, sudah mengingatkan agar hati-hati pada ekonomi global diprediksi melambat pada 2023 dan hanya tumbuh 2,9 persen. Kondisi tersebut akan berimplikasi pada harga komoditas yang jadi andalan akan turun.

"Ini bisa terjadi pembalikan arah dari harga komoditas. Itu dampaknya ke neraca perdagangan," kata Bhima. Sebab itu, perlu strategi agar Indonesia lepas dari kebergantungan pada ekspor komoditas dan kembali ke sektor manufaktur atau sektor digital agar saat harga komoditas turun, tidak perlu panik karena ruang fiskal masih cukup tersedia dan neraca perdagangan juga berkualitas.

"Kalau sekarang ini surplus, tetapi tidak berkualitas karena tergantung. Kalau harga batu bara naik, surplusnya besar. Sebaliknya kalau harga batu bara turun, surplusnya turun. Jadi, tidak mencerminkan surplus perdagangan yang diharapkan. Jadi, tantangannya bagaimana ini digeser ke sektor manufaktur," pungkas Bhima.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top