Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kedaulatan Pangan I Nilai Impor Pangan sejak Era Reformasi Terus Melonjak

Sulit Mandiri Pangan jika Impor Terus Meningkat

Foto : ANTARA/IDHAD ZAKARIA

TOLAK IMPOR BERAS I Sejumlah petani di Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, melakukan aksi menolak rencana impor beras beberapa waktu lalu. Impor beras jelas bertentangan dengan misi pemerintah untuk mencapai kemandirian pangan dalam rangka menjaga ketahanan nasional. Kalau mau mandiri pangan maka produktivitas dalam negeri harus dipacu agar Indonesia bisa menjadi negara eksportir pangan, bukan malah mengimpor pangan.

A   A   A   Pengaturan Font

» Indonesia dengan populasi terbesar keempat di dunia, bahaya terbesarnya bukan musuh dari luar, tetapi ancaman kelaparan rakyat.

» Impor pangan memiliki sederet catatan praktik korupsi, terutama terkait perizinan dan penentuan kuota.

JAKARTA - Upaya pemerintah mencapai kemandirian pangan dinilai sangat sulit terealisasi selagi impor pangan, seperti beras, gula, kedelai, dan komoditas lainnya terus berlanjut, bahkan dari tahun ke tahun makin meningkat.

Sulitnya menghentikan impor pangan itu ditengarai karena berkaitan langsung dengan perilaku korupsi elite yang menjadikan pengadaan kebutuhan tersebut sebagai bancakan untuk mendapat keuntungan bagi pribadi dan kelompoknya.

Guru Besar Ekonomi Pertanian dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Masyhuri, mengatakan sudah bukan rahasia umum lagi kalau izin impor ditengarai menghasilkan fee. Setiap kilogram komoditas yang diimpor bisa jadi sasaran pemburu rente, rent seeking.

"Jangan heran, jika jumlah dan nilai impor semakin naik sejak era reformasi tahun 2000," kata Masyhuri.

Kondisi tersebut, jelasnya, sangat bertentangan dengan misi pemerintah untuk mencapai kemandirian pangan dalam rangka menjaga ketahanan nasional. Kalau itu benar-benar ingin dicapai maka produktivitas dalam negeri harus dipacu agar Indonesia bisa menjadi negara eksportir pangan, bukan sebagai importir pangan terbesar dunia.

"Indonesia yang memiliki populasi terbesar keempat di dunia, bahaya terbesarnya bukan musuh dari luar, tetapi ancaman kelaparan rakyat," kata Masyhuri.

Ancaman kelaparan, kata Masyhuri, bukan mengada-ada karena sebelumnya Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) dan Program Pangan Dunia (WFP) telah memperingatkan.

Dalam laporan pada Maret lalu menyebutkan kelaparan akut akan melonjak di lebih dari 20 negara dalam beberapa bulan mendatang, jika upaya bantuan tidak segera ditingkatkan.

Menurut laporan Hotspot Hunger, Yaman, Sudan Selatan, dan Nigeria bagian utara berada di urutan teratas, dan menghadapi tingkat bencana kelaparan akut. Para keluarga di Sudan Selatan dan Yaman sudah berada dalam cengkeraman atau berisiko kelaparan dan kematian.

Meskipun sebagian besar negara yang terkena dampak berada di Afrika, kelaparan akut akan meningkat tajam di sebagian besar wilayah dunia, dari Afghanistan di Asia, Suriah dan Lebanon di Timur Tengah, hingga Haiti di Amerika Latin dan Karibia.

Sudah, lebih dari 34 juta orang bergulat dengan tingkat darurat kelaparan akut (IPC4), yang berarti selangkah lagi dari kondisi kelaparan di seluruh dunia.

"Besarnya penderitaan yang mengkhawatirkan. Adalah kewajiban kita semua untuk bertindak sekarang dan bertindak cepat untuk menyelamatkan nyawa, menjaga mata pencaharian dan mencegah situasi terburuk," kata Direktur Jenderal FAO, Qu Dongyu.

"Di banyak daerah, musim tanam baru saja dimulai atau akan segera dimulai. Kita harus berpacu dengan waktu dan tidak membiarkan kesempatan ini untuk melindungi, menstabilkan, dan bahkan mungkin meningkatkan produksi pangan lokal hilang begitu saja," kata Qu mendesak.

Libatkan Pejabat

Manager Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi, dalam kesempatan terpisah mengatakan, beberapa tahun terakhir Fitra melakukan analisis terhadap rent seeking impor pangan. "Impor pangan ini memiliki sederet catatan praktik korupsi, terutama terkait perizinan dan penentuan kuota," ungkap Badiul.

Kasus impor bawang putih pada 2018 lalu, misalnya, melibatkan pejabat di Kementerian Pertanian dan Perdagangan, politisi, pihak ketiga dan diduga kerugian negara mencapai sekitar tiga triliun rupiah dari mark up harga.

Setahun sebelumnya, kasus suap kuota impor daging sapi melibatkan Menteri Pertanian, dan pejabat di Kementan, Kemendag, politisi, dan pihak ketiga dengan total impor senilai 2,5 triliun rupiah.

Begitu pula penentuan kuota impor bawang putih sebanyak 20 ribu ton pada 2019 ditengarai meminta fee sebesar 1.700-1.800 rupiah per kilogram dari bawang putih yang diimpor. Kasus tersebut melibatkan anggota DPR.

Impor pangan, jelasnya, menjadi celah korupsi para pihak yang memang berniat mengambil keuntungan. Oleh karena itu, pemerintah harus memperbaiki tata kelola pangan lokal dengan lebih berpihak kepada petani atau masyarakat. Cinta produk dalam negeri harus direalisasikan dalam kebijakan bukan sekadar jargon.

"Konsep kedaultan pangan harus diperkuat, selama ini pemerintah mengedepankan konsep ketahanan pangan," katanya.

Selain itu, petani dan nelayan harus diberi stimulus agar bisa meningkatkan produksinya, sehingga dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri. Jika produksi sudah mencukupi, pemerintah harus berkomitmen untuk menghentikan impor yang diawasi ketat oleh Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).

Dia menilai Menteri Perdagangan dan Menteri Pertanian selama ini terus melanggar amanat Undang-Undang No 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Sebab, dalam UU tersebut menyebutkan demokrasi ekonomi melalui perdagangan sebagai penggerak utama pembangunan ekonomi nasional yang seharusnya mendukung peningkatan produksi nasional guna memeratakan pendapatan dan daya saing nasional.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top