Jum'at, 10 Jan 2025, 01:30 WIB

Stabilitas Sektor Keuangan RI Terancam Setelah Gabung BRICS

Foto: antara

JAKARTA- Kondisi perekonomian Indonesia saat ini membutuhkan dukungan yang lebih luas dari banyak negara. Tanpa bergabung dalam aliansi ekonomi BRICS (Brasil, Russia, India, China dan Afrika Selatan), Indonesia sudah mendapat dukungan dari Tiongkok. Namun, sikap Pemerintah yang memilih bergabung ke blok ekonomi yang didominasi oleh negara-negara dengan aliran ekonomi sosialis dinilai malah merugikan karena menutup sumber bantuan yang lebih besar dari Amerika Serikat (AS), Jepang, Taiwan dan negara-negara Eropa dan Korea Selatan. 

Indonesia dinilai malah memilih masuk ke lautan kecil, bukan ke Samudera yang lebih luas. Guru Besar Bidang Ilmu Akuntansi Forensik Sektor Publik dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa), sekaligus Ketua Asosiasi Dosen Akuntansi Sektor Publik (APSAE), Dian Anita Nuswantara, mengatakan, seharusnya RI lebih jeli sebelum mengambil keputusan untuk bergabung dengan BRICS, agar tidak justru dimanfaatkan dan merugikan pengusaha lokal.

Menurutnya Pemerintah sebaiknya lebih fokus meningkatkan daya saing dan mendorong pembukaan lapangan kerja agar tercipta iklim ekonomi yang lebih bergairah.

“Bergabung dengan BRICS, tidak bisa hanya dipandang dari peluang pasar bagi produk ekspor Indonesia dengan asumsi Tiongkok dan Russia memiliki populasi penduduk yang sangat besar,” kata Dian.

Apalagi, Tiongkok secara ekonomi sangat mendominasi BRICS, hal itu justru akan menjadikan Indonesia sebagai pasar potensial bagi produk produk Tiongkok. Bahkan Indonesia akan semakin bergantung pada investasi dan perdagangan dengan Tiongkok.

Industri dalam negeri semakin digencet industri Tiongkok seperti sudah terjadi saat ini dan tekanan itu semakin besar. Belum lagi sanksi dunia terhadap Russia, bisa bisa menyeret Indonesia pada posisi politik yang tidak menguntungkan. “Dari perhitungan awal saja, kita akan menciptakan jarak dengan Barat yang mana kontribusi dari hubungan selama ini lebih nyata,” katanya.

Sebetulnya tanpa bergabung dengan BRICS, anggotanya akan tetap menjaga hubungan ekonomi dengan Indonesia karena potensi pasar yang sangat seksi, tinggal dikelola secara profesional. Lebih baik pemerintah menghidupkan perekonomian dengan menggerakkan pertanian dan memperkuat ekonomi perdesaan serta sektor lainnya yang menyerap banyak tenaga kerja.

“Kalau kita bisa konsisten berantas korupsi, berantas korupsi, insentif untuk investor, dan perkuat daya saing, sudah akan jadi modal kuat menjadi negara maju,” tuturnya.

Dalam kesempatan lain, pengamat ekonomi dari STIE YKP Yogyakarta, Aditya Hera Nurmoko mengatakan langkah Indonesia bergabung ke BRICS berisiko besar bagi perekonomian Indonesia baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang.

Vietnam katanya yang ragu masuk ke BRICS akhirnya lebih memilih untuk tetap menjaga hubungan baik dengan Amerika Serikat dan sekutunya.

“Vietnam ragu bergabung dengan BRICS karena mereka memprioritaskan hubungan dengan AS dan blok barat. Akibatnya, Vietnam berhasil menarik relokasi investasi dari Jepang, AS, dan negara maju lainnya. Sementara Indonesia, bahkan sebelum bergabung dengan BRICS, tidak pernah menjadi tujuan relokasi investasi besar,” jelas Aditya.

1736445699_1ef2079ca10c3be9c4b7.jpg

Bergantung Dollar

Aditya juga menyoroti masih tingginya kebergantungan Indonesia terhadap dollar AS, baik dalam utang maupun cadangan devisa. “Utang luar negeri kita didominasi oleh dollar AS, bukan rubel atau renminbi. Stand by loan kita juga dalam bentuk dollar AS. Jika terjadi kesulitan pembayaran utang, siapa yang akan menolong kita? Tentu saja negara-negara barat, bukan anggota BRICS lainnya,” papar Aditya.

Belum lagi dari sisi teknologi, yang umumnya berasal dari barat. “Semua sumber teknologi utama berasal dari negara-negara barat. Bagaimana mungkin perusahaan seperti Apple mau berinvestasi di Indonesia jika kita terlihat condong ke BRICS? Dengan masuknya Indonesia ke BRICS, justru merugikan posisi kita dalam jangka panjang,” katanya.

Apalagi kebergantungan BRICS pada Tiongkok sebagai ekonomi terbesar dalam blok itu juga menjadi titik lemah. Sebab, ekonomi Tiongkok saat ini pun menghadapi tekanan besar akibat utang dan kredit macet di sektor properti.

“Jika Tiongkok saja kesulitan, bagaimana mereka bisa membantu Indonesia?” kritiknya.

Ia juga menyebutkan bahwa banyak negara BRICS memiliki sistem ekonomi sosialis yang tidak cocok dengan Indonesia. “Kita adalah ekonomi pasar bebas. Pajak tinggi seperti di negara sosialis malah akan membebani pertumbuhan bisnis dan masyarakat. Jika tidak naik, dari mana mendapat dana bantuan sosial,” jelasnya.

Pengalaman Filipina dan Vietnam katanya merupakan pelajaran penting bagi Indonesia. “Filipina sempat mendekat ke Tiongkok di era Duterte, tetapi hasilnya justru mengecewakan. Kini, di bawah pemerintahan Marcos, Filipina kembali memperkuat hubungan dengan AS. Sementara itu, Vietnam yang tetap netral dan fokus pada kerja sama dengan blok barat menikmati investasi asing langsung (FDI) yang luar biasa,” ungkapnya.

Sementara itu, Doktor Ekonomi lulusan Universitas Tanjung Pura (Untan) Pontianak, Kalimantan Barat, Sabinus Beni mengatakan Indonesia dalam mengelola APBN saja belum efisien dan banyak kebocoran. Sebab itu, perlu fokus membangun ekonomi perdesaan sebagai kunci pembangunan nasional. Pemerintah seharusnya mengarahkan perbankan membiayai ekonomi perdesanaan dan melarang membiayai properti yang sudah bubble.

“?Kredit macet properti sudah 1.700 triliun rupiah, lebih baik nonblok di tengah. ?Insentif manis masuk BRICS terlalu kecil untuk jangka menengah dan jangka panjang,” kata Sabianus.

Indonesia tambahnya punya potensi ekonomi sangat besar, tapi bukan menjadi pilihan penanamn modal asing langsung atau Foreign Direct Invesstment (FDI) oleh blok yang lebih besar bahkan akan stagnan. Hal itu kata Sabianus perlunya Indonesia menempatkan posisi yang tepat diantara blok ekonomi yang ada, agar tetap mendapat limpahan aliran modal, baik di pasar keuangan maupun di sektor riil.

Redaktur: Vitto Budi

Penulis: Eko S, Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini, Muhamad Ma'rup, Selocahyo Basoeki Utomo S

Tag Terkait:

Bagikan: