Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Soal Perbaikan Data Pemilih

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Oleh Achmad Fachrudin

Tanpa terasa masa perbaikan Data Pemilih Hasil Perbaikan (DPHP) untuk Pemilu Serentak 2019 sudah berjalan lebih dari satu bulan dan akan berakhir pada 15 November 2018. Sebegitu jauh, publik tidak mengetahui dengan jelas progresnya. Yang diketahui, KPU mencanangkan Gerakan Melindungi Hak Pilih #GMHP pada 1-28 Oktober 2018 dengan cara mendirikan 69.834 Posko Layanan.

Sementara itu, Bawaslu membuka 33.745 Posko Pengaduan Daftar Pemilih Pemilu 2019. Alih-alih kedua langkah tersebut membantu mengatasi problem krusial DPHP, publik justru dikejutkan rilis Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Kemendagri yang melansir 31.975.830 jiwa pemilih sudah merekam data e-KTP, tetapi belum masuk Daftar Pemilih Tetap (DPT) KPU. Ini berdampak, perbaikan data pemilih menjadi semakin kompleks.

Angka 31 juta lebih yang dilansir Dukcapil sangat besar. Di balik angka itu ada pengguna hak pilih yang harus dilindungi. Jika angka tersebut, menjadi milik suatu pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden, tentu berpeluang menang di Pemilu Presiden 2019. Jika menjadi milik partai politik peserta pemilu, berpeluang membetot puluhan kursi di parlemen. Maka, 31 juta pemilih tidak boleh dianggap remeh. KPU dan Kemendagri bertanggung jawab menyelesaikan problem ini demi terwujudnya DPT valid.

Posisi KPU jadi tidak mudah. Pilihan pendekatan yang diajukan acapkali menimbulkan dilema, bahkan seperti simalakama. Sebab berpeluang malah memunculkan masalah baru yang terkadang jauh lebih rumit. Ini belum lagi menghitung energi dan anggaran. Yang paling sulit, bila pekerjaan baru tersebut harus melibatkan jajaran KPU level bawah seperti jajaran Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (Pantarlih). Problemnya, Pantarlih sudah bubar karena masa tugasnya sudah berakhir.

Tetapi, membuka "kotak Pandora" dan risiko munculnya beban pekerjaan baru harus dianggap lebih baik daripada menutup rapat-rapat problem yang ujungnya malah berpotensi meledak menjadi malapetaka. Maka, KPU tidak boleh lari dari problem 31 juta lebih jiwa pemilih yang sudah melakukan perekaman data e-KTP, tetapi belum masuk DPT. Ini harus segera diselesaikan.

Problem krusial lain yang harus dibereskan terkait data yang dituding tak valid tentang sekitar 1,4 juta data ganda versi Bawaslu (NIK, nama, dan tanggal lahir). Sementara itu, versi KPU "tinggal" 795 ribu dari 185 juta DPT. KPU harus segera membereskan agar data akurat. Data ganda demikian besar dikhawatirkan memperbanyak pemilih tidak akan menggunakan hak. Selain itu, invaliditas data berpotensi lahirkan kecurangan.

KPU juga harus membereskan pemilih pemula. Menurut data Dirjen Dukcapil Zudan Arif Farullah, di DP4 terdapat pemilih pemula yang akan berusia 17 tahun tanggal 1 Januari 2018 sampai dengan 17 April 2019 sebanyak 5.035.887 jiwa. Ketua KPU Arif Budiman menyebutkan, potensi pemilih pemula atau pemilih yang baru 17 tahun pada hari pemungutan suara sebanyak lebih dari tujuh juta. Dalam kesempatan lain Arif menyebut, ada sekitar lima juta pemilih pemula yang sudah akan berusia 17 tahun dalam kurun waktu Januari hingga April 2019. Sementara itu, Komisioner KPU Viryan Aziz Rabu, 8 Agustus 2018 menyebut, jumlah pemilih pemula lebih kecil lagi, 1.262.878 jiwa.

Pemilih pemula harus dicarikan solusinya agar tak terancam kehilangan hak pilih karena sebagian besar belum melakukan perekaman dan pencetakan e-KTP, alias belum memiliki e-KTP. Padahal e-KTP menjadi syarat identitas kependudukan satu-satunya yang diakui oleh UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu saat pemilih akan menyalurkan hak di Tempat Pemungutan Suara (TPS).

Benar pada PKPU No 11 Tahun 2018 tentang Penyusunan Pemilih di Dalam Negeri Pemilu 2018 Pasal 27 Ayat 1 masih mengakomodasi Surat Keterangan (Suket) sebagai dokumen kependudukan yang bisa digunakan untuk memilih. Namun, KPU belum memastikannya.

Dengan dibukanya NIK pada DPT, publik atau pemilih dapat memastikan bahwa di DPT tersebut memang benar namanya. Sebaliknya, bila NIK dan KK pada DPT ditutup, rakyat bertanya apakah dalam DPT benar namanya.

Di era digital dan big data, boleh dikatakan seluruh data kependudukan dapat dibuka untuk berbagai kepentingan. Misalnya, saat hendak membuka rekening bank atau membeli nomor baru (kartu perdana) harus menyertakan NIK atau KK. Selain itu, pembukaan NIK/KK merupakan aktualisasi prinsip transparansi dan aksesibilitas yang mesti diwujudkan KPU.

Adu Data

Dari mana harus mengurai dan mencari solusi berbagai problem tersebut? Tentu yang paling tahu KPU. Masyarakat hanya bisa mendorong agar KPU, Dukcapil, serta partai politik peserta Pemilu 2019 segera duduk bersama. Kemudian Dukcapil dan KPU mengadu data untuk identifikasi akar masalah. Kemudian, diajukan solusi terbaik.

Terkait problem 31 juta lebih pemilih yang sudah melakukan perekaman, namun tidak masuk dalam DPT harus jadi agenda serius diselesaikan secara efektif, efisien, sistematis, akurat, dan terukur. Waktu perbaikan tinggal dua bulan.

Langkah KPU atau Bawaslu mendirikan Posko Pengaduan DPT sekadar menambal kekurangan dalam proses pencocokan data pemilih. Sedangkan untuk isu besar menyangkut 31 juta lebih pemilih, pemilih pemuka, dan NIK/NKK yang dibintangi, sangat jelas tidak bisa diselesaikan dengan Posko Pengaduan DPT.

Sekarang, isu data pemilih terkesan belum jadi perhatian serius karena tertutupi oleh sejumlah isu politik nasional, khususnya terkait Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Setelah berakhirnya masa perbaikan data pemilih 15 November 2019, hasil kerja KPU akan ditagih partai politik peserta Pemilu. Maka, ini menjadi kepentingan bersama, seyogianya semua partai politik memiliki care dan common sense yang sama.

Manakala hingga dead line masa perbaikan belum selesai, penundaan yang ketiga kalinya sangat mungkin terjadi. Jika demikian, tentu kredibilitas KPU sedikit banyak akan dipertanyakan. Penundaan DPT yang berulang-ulang juga bisa berdampak pada jajaran KPU di level bawah. Mereka akan mengalami demoralisasi karena keletihan, kelelahan, ketidakpastian dan seterusnya.

Di sisi lain, kinerja buruk dalam perbaikan data pemilih berpotensi menjadi benih dan sumber konflik. Biasanya pihak yang kalah dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden atau Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD akan menjadikannya entry point untuk mengkritik, bahkan menggugat KPU ke Mahkamah Konstitusi atau Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu.

Penulis Wakil Dekan FISIP Universitas Ibnu Chaldun

Komentar

Komentar
()

Top