Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Prospek Ekonomi 2024 | Konsumsi Masa Pemilu Hanya Bermanfaat Temporer bagi Ekonomi

Situasi Makin Sulit, Pemerintah Diminta Fokus Jaga Kecukupan Pangan Rakyat

Foto : ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

Guber­nur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo

A   A   A   Pengaturan Font

>> Pemerintah dipastikan akan mengetatkan fiskal dan bank sentral menaikkan suku bunga.

JAKARTA - Dalam Pertemuan Tahunan Bank Indonesia 2023 yang berlangsung di Jakarta, Rabu (29/11), Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, mengatakan prospek ekonomi global akan meredup pada 2024 sebelum kembali bersinar pada 2025. Hal itu karena fragmentasi geopolitik berdampak pada fragmentasi geoekonomi.

Hal itu terlihat pada lima karakteristik dari ketidakpastian yang melanda dunia saat ini. Pertama, slower & divergence growth, yang mana ekonomi global melambat 2,8 persen pada 2024 sebelum tumbuh kembali 3 persen pada 2025.

Kedua, gradual disinflation, yaitu kondisi di mana penurunan inflasi melambat, meskipun diberlakukan pengetatan moneter yang agresif di negara maju. Faktor ketiga, higher for longer, yang ditandai dengan masih tingginya suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserves (the Fed) yang diikuti dengan hasil US Treasury yang terus meningkat.

Kemudian, faktor keempat adalah tren strong dollar yang menyebabkan mata uang negara-negara lain terdepresiasi termasuk rupiah. Terakhir, kata Perry, adalah cash is the king, yang berarti terjadi pelarian modal dalam jumlah besar dari emerging market ke negara maju karena tingkat suku bunga yang tinggi serta imbal hasil yang lebih besar.

"Lima gejolak global tersebut berdampak negatif ke berbagai negara. Tidak terkecuali Indonesia, sehingga perlu kita waspadai dan antisipasi dengan respons kebijakan yang tepat untuk ketahanan dan kebangkitan ekonomi nasional," kata Perry.

Menanggapi pernyataan Gubernur BI, pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia (UI), Eugenia Mardanugraha, mengatakan tahun 2024 adalah tahun yang berat bagi perekonomian Indonesia sehingga pemerintah dipastikan akan mengetatkan fiskal dan bank sentral menaikkan suku bunga. Di sisi lain, 2024 adalah tahun politik di mana pengeluaran pemerintah pasti meningkat. "Menurut saya, pemerintah harus fokus pada kecukupan pangan rakyat. Apa pun yang terjadi, jangan sampai rakyat kekurangan makan dan obat-obatan," kata Eugenia.

Tingkat pengangguran diperkirakan akan meningkat, meskipun akan kembali bekerja saat perekonomian normal kembali pada 2025. "Pemerintah harus menjamin kelangsungan hidup keluarga mereka selama menganggur," tegasnya.

Senada dengan Eugenia, pakar pertanian dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jawa Timur, Surabaya, Zainal Abidin, mengatakan bahwa dalam menghadapi situasi ekonomi yang semakin sulit, kecukupan pangan memang harus diprioritaskan mengingat pangan merupakan kebutuhan primer yang tidak dapat digantikan.

Untuk itu, pemerintah diminta benar-benar mewujudkan kemandirian pangan karena ancaman krisis di masa mendatang akan selalu muncul. "Sandang, pangan, papan mutlak harus dipenuhi, terutama pangan karena manusia tidak mungkin bisa hidup tanpa makan. Sebenarnya ancaman krisis sendiri selalu ada, dan situasi ke depan memang semakin sulit karena manusia akan memperebutkan energi, air, dan makan," kata Zainal.

Satu-satunya jalan agar terhindar dari krisis pangan adalah memiliki kemandirian dan kedaulatan pangan. Dia mengakui hal itu tidak mudah karena harus ada keberpihakan pemerintah kepada produsen yaitu para petani.

"Kemandirian hanya bisa dicapai dengan men-support petani, seperti negara-negara lain juga melakukannya. Keberpihakan pemerintah adalah kunci awal menuju swasembada," kata Zainal.

Menaikkan Suku Bunga

Dari Yogyakarta, pengamat ekonomi dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Aloysius Gunadi Brata, mengatakan Indonesia tidak akan mudah menghadapi tahun 2024 karena ekonomi global yang penuh ketidakpastian bersamaan dengan perhelatan demokrasi di tahun politik yang sering kali membawa langgam kebijakan ekonomi yang royal.

Dia mengingatkan kalau pengeluaran yang besar di masa pemilu, yang terlihat baik dari pengeluaran pemerintah maupun konsumsi masyarakat hanya memberikan manfaat positif bagi ekonomi nasional secara temporer.

"Pengeluaran pemerintah yang berlebihan, apalagi mengabaikan prinsip-prinsip anggaran yang sehat hanya demi tampil populis, justru bisa meninggalkan beban bagi pemerintah berikutnya," katanya.

Kondisi tersebut, kata Aloysius, harus diantisipasi dengan memperkuat kendali dari sisi moneter. BI sangat mungkin akan kembali menaikkan suku bunga acuan, seperti dilakukan Oktober lalu.

Kendati sulit, pemerintah diharapkan tidak menjual kebijakan ekonomi populis demi tujuan-tujuan politik jangka pendek. "Kalaupun diperlukan, pengeluaran berupa bantuan-bantuan harus menyasar target yang jelas, yakni kelompok masyarakat yang rentan terhadap kenaikan harga pangan dan sulit memperoleh pekerjaan," jelas Aloysius.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top