Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Laporan PBB I Junta Telah Perlakukan Rencana yang Disepakati dengan Asean Secara Hina

Situasi di Myanmar Masih Katastropik

Foto : AFP/SALVATORE DI NOLFI

Kepala HAM PBB, Volker Turk

A   A   A   Pengaturan Font

JENEWA - Kepala hak asasi manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa pada Jumat (27/1) menyatakan bahwa setelah hampir dua tahun terjadinya kudeta militer di Myanmar, situasi di negara itu masih dirundung malapetaka (katastropik), seraya menyerukan agar militer ditempatkan di bawah pengawasan sipil.

"Sejak kudeta yang menggulingkan pemerintahan sipil Aung San Suu Kyi pada 1 Februari 2021, Myanmar melalui hampir semua pengukuran yang layak dan di setiap aspek hak asasi manusia mengalami kemunduran yang mendalam," kata Kepala HAM PBB, Volker Turk, dalam sebuah pernyataan.

"Meskipun ada kewajiban hukum yang jelas bagi militer untuk melindungi warga sipil dalam melakukan permusuhan, telah terjadi pengabaian yang konsisten terhadap aturan terkait hukum internasional," imbuh dia.

Turk menambahkan bahwa walau ada kewajiban itu, warga sipil justrutelah menjadi sasaran serangan yang sebenarnya mulai jadi korban serangan artileri dan serangan udara yang ditargetkan dan sembarangan, eksekusi di luar hukum, penggunaan penyiksaan, dan pembakaran seluruh desa.

Kantor Hak Asasi PBB mengatakan sedikitnya 2.890 orang telah tewas di tangan militer dan sekutunya sejak kudeta, merujuk pada sumber yang dapat dipercaya.

"Dari para korban yang tewas itu setidaknya ada 767orang yang awalnya ditahan," ungkap Turk.

Militer juga telah memenjarakan kepemimpinan negara yang dipilih secara demokratis, dan lebih dari 16.000 lainnya, kata kantor hak asasi manusia. Sementara itu, 1,2 juta orang lainnya menjadi pengungsi internal sejak kudeta, sementara lebih dari 70.000 telah meninggalkan negara itu.

Angka pelarian itu belum termasuk dengan lebih dari satu juta orang lainnya yang melarikan diri dari penganiayaan di Myanmar selama beberapa dekade terakhir, termasuk sebagian besar populasi Muslim Rohingya di negara tersebut.

"Harus ada jalan keluar dari situasi bencana ini, yang hanya memperdalam penderitaan manusia dan pelanggaran hak setiap hari," tegas Turk. "Kekerasan telah lepas kendali dan akses kemanusiaan telah sangat dibatasi," imbuh dia.

Turk juga menegaskan bahwa mereka yang bertanggung jawab atas serangan harian terhadap warga sipil dan pelanggaran hak asasi manusia harus dimintai pertanggungjawaban.

Selain itu Turk juga mengecam junta dengan mengatakan bahwa junta telah memperlakukan rencana yang disepakati dengan Perhimpunan Bangsa Bangsa Asia Tenggara (Asean), yang bertujuan memadamkan pertumpahan darah dan mengizinkan akses kemanusiaan, secara hina.

Aturan Pemilu

Sementara itu pada saat bersamaan, junta militer Myanmar mengambil langkah awal untuk mengadakan pemilihan parlemen, tetapi mereka melakukannya dengan memberlakukan aturan ketat pada partai politik yang dapat mempersulit pemungutan suara yang adil.

Demi meredakan tekanan internasional, pemimpin kudeta Min Aung Hlaing mengatakan pemilihan parlemen kemungkinan akan diadakan pada Agustus 2023. Sebagai langkah awal dalam proses pemilihan, militer juga mengeluarkan undang-undang setebal 20 halaman yang menetapkan peraturan yang rumit dan ketat bagi partai politik yang berharap untuk menerapkannya.

Undang-undang ini dapat memblokir Liga Nasional untuk Demokrasi, yang memenangkan pemilu 2020 dengan telak meskipun klaim junta tentang penipuan pemilih ditolak oleh pengamat internasional. Sebuah partai dapat dibubarkan jika dinyatakan melanggar hukum atau diduga memiliki komunikasi dengan organisasi teroris, menurut undang-undang baru tersebut. AFP/BLOOMBERG/I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat
Penulis : AFP

Komentar

Komentar
()

Top