Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Setop Caci-maki dengan Menjunjung Tinggi Pancasila

A   A   A   Pengaturan Font

Judul : Indonesia Tanpa Caci Maki

Penulis : Deni Gunawan

Penerbit : PT Elex Media Komputindo

Cetakan : 2019

Tebal : 205 halaman

ISBN : 978-602-04-9090-8

Cacian bisa berupa verbal atau meme di dunia nyata. Setiap orang bisa dicaci. Dengan hoaks sekalipun cukup sudah untuk menyemburkan sumpah serapah. Presiden negeri ini tidak jarang mendapat caci maki. Mestinya, Kepala Negara dihormati. Jika ada kesalahan berdasarkan bukti valid, dikritik dengan sopan.

Menurut buku ini, sumber besar caci maki adalah ideologi dan politik. Persoalan ideologi negeri ini tidak lepas dari kelompok yang menginginkan berdasarkan Islam berhadapan dengan kelompok yang berkehendak agar negara tidak mendasarkan pada agama tertentu, cukup Pancasila. Mereka melihat penghapusan tujuh kata dalam Pancasila oleh pendiri bangsa telah membuktikan, Indonesia merupakan negara bangsa, bukan negara agama.

"Jika agama menjadi acuan, misalnya, agama Islam, akan timbul pertanyaan lain, terkait keislamannya. Islam NU-kah? Islam Muhammadiyah-kah? Islam Persis-kah? Atau Islam-Islam yang lain? ini pasti tidak akan pernah selesai," tulis KH Masdar Mas'udi (hlm xviii).

Pancasila yang sudah final tersebut masih terus dipersoalkan. Bangkitnya gerakan pemberontakan Partai Komunis Indonesia, Darul Islam, dan Negara Islam Indonesia bukti nyata belum membuminya nilai-nilai Pancasila.

Selama 30 tahun lebih Orde Baru, Pancasila dijadikan alat melanggengkan status quo. Bola politik yang semakin panas pascareformasi juga masih menggunakan Pancasila sebagai bagian permainan politik. Dasar negara yang semestinya sakral, dipandang sebagai perangkat negara yang bisa dijadikan alat kekuasaan.

Maka, tak heran kemudian jika banyak masyarakat yang hafal lima butir Pancasila, namun tidak memahami, apalagi melaksanakannya. Di ruang kosong kesadaran tentang sakralitas Pancasila, masyarakat mudah disusupi ideologi-ideologi lain yang dianggap lebih ideal, benar, dan sakral.

Ideologi lain yang merongrong Pancasila bukan hanya persoalan pendirian negara Islam atau menjadikan negara ini berdasarkan syariat yang sifat sebenarnya masih lokal. Bersamaan dengan globalisasi dan pesatnya pemakaian internet, hadir pula ideologi transnasional seperti khilafah dan ISIS. Keduanya menjadikan Islam sebagai basis, namun pola gerakannya berjejaring di berbagai negara. Ideologi transnasional ini bergerak berdasarkan gerakan global yang saling menyambung (hlm 173).

Buku ini melihat pemahaman sebagian umat Islam terhadap Pancasila dirancukan dengan kebenaran agama yang diyakini. Mudahnya mereka bersipati dengan sesama umat Islam di negara lain dan di saat yang sama apatis dengan sesama warga setempat merupakan bukti akutnya konfrontasi antara ideologi keberagamaan dan kebangsaan dalam pikiran. Mencaci saudara sebangsa atas dasar dalil agama, menunjukkan bahwa Pancasila tidak lagi jadi parameter dalam kehidupan bernegara.

Buku mengingatkan, Pancasila dirumuskan tokoh-tokoh pejuang Islam. Lima butir sila dalam Pancasila disarikan dari ajaran-ajaran Islam juga yang dipadukan dengan kearifan lokal. Menegasikan Pancasila sebagai pegangan hidup berbangsa, atau malah tidak menganggapnya tidak islami, merupakan pengingkaran terhadap Islam itu sendiri (hlm 54).

Keteladan tokoh agama menjadi ujung tombak perubahan pola pikir dan perilaku masyarakat. Kebijakan pemerintah untuk terus memperbaiki keadilaan hukum dan kemakmuran masyarakat menjadi tiang penyangga agar tidak mudah jatuh pada ajakan kebencian.

Buku menegaskan, Pancasila satu-satunya sumber penyelamat bangsa. Semua elemen masyarakat harus berjuang agar dasar negara tersebut benar-benar menjadi dasar kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika tidak, akan mudah ideologi lain datang merusak kesadaran masyarakat. Diresensi Ahmad Hasinul Ansor, Alumnus Universitas Islam Jember

Komentar

Komentar
()

Top