Seperti Berburu di "Kebun Binatang"
Sejumlah warga menuliskan nama mereka di jerigen saat membeli minyak goreng curah dalam program Distribusi Minyak Goreng HET di kawasan Pasar Senen Blok III, Jakarta.
Langkah aparat penegak hukum yang tak kunjung menangkap para mafia minyak goreng membuat sejumlah pihak geram. Padahal, pemerintah bersama aparat pun sudah tahu mafianya. Mereka ada di depan mata dan tinggal ditangkap, tetapi hingga kini penetapan tersangka tak kunjung keluar.
Akibat ulah mafia, di saat kondisi keuangan lagi cekak, pemerintah terpaksa harus mengeluarkan kocek lagi dengan menyubsidi minyak goreng curah bersubsidi senilai sebesar 7,28 trilliun rupiah. Itu menggunakan dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
"Apalagi yang ditunggu-tunggu, mafianya ada bukti-buktinya ada kan tinggal langsung ditangkap, tetapi kok nggak ditangkap-tangkap," tegas Direktur Eksekutif Lingkar Madani (Lima) Indonesia, Ray Rangkuti, dalam sebuah diskusi beberapa hari lalu.
Pernyataan itu juga diungkapkan Ray terhadap industri yang tak mematuhi Permenperin 8/2022 tentang Minyak Goreng Curah Bersubsidi. Adapun Ray bersama sejumlah kelompok masyarakat sipil lainnya membentuk Gerakan Masyarakat Awasi Kartel (Germak).
Dia mengatakan laporan Kementerian Perindustrian hingga 8 April lalu baru 55 dan total 75 industri minyak goreng sawit (MGS) yang berkontrak yang telah berproduksi (73,3 persen). Di sisi lain, dari ke-55 industri yang telah memulai produksi, baru sebagian saja yang mencapai target sesuai ketentuan kontrak yang ada.
Hasil pemantauan Germak di beberapa daerah pada tingkatan pabrik menunjukkan terdapat 11 industri pemilik pabrik MGS yang belum menyalurkan sama sekali minyak goreng curah subsidi dalam periode 1-9 April 2022 ini, seperti PT EUP di Pontianak, PT MNOI di Bekasi, PT DO & F di Kota Bekasi, PT AGR Kota Bitung, PT, PNP Jakarta Timur, PT IMT Dumai, PT BKP Gresik, PT PPI Deli Serdang, PT PSCOI Bekasi, dan PT IBP di Dumai.
Ibrahim Fahmy Badoh dari NaraIntegrita yang turut bergabung dalam Germak menegaskan bahwa fakta ini menunjukkan betapa masih rendahnya komitmen dan kepatuhan sebagian industri MGS pada kontrak dan ketentuan yang ada.
Padahal, kata dia, para industri MGS tersebut berkontrak dengan pemerintah dan berkewajiban memproduksi dan mendistribusikan minyak goreng subsidi sesuai HET.
Ibrahim menuturkan dari laporan masyarakat dan penelusuran yang dilakukan oleh tim pemantau lapangan terhadap beberapa Pasar di Kawasan Jabodetabek menunjukkan adanya potensi permainan pedagang pasar dalam menjual MGS Curah subsidi dalam bentuk repacking per liter akan, tetapi dijual dengan harga per kilogram.
Monopoli distribusi
Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arif, mengatakan selain pelanggaran repacking, juga ditemukan indikasi monopoli distribusi. "Distributor D1, D2, serta pengecer dimiliki oleh orang yang sama. Dengan berbagai metode, salah satunya repacking, bisa membentuk harga di atas harga eceran tertinggi (HET)," ungkapnya.
Karena itu, Kemenperin meminta kepada kepolisian untuk mendalami aliran distribusi minyak goreng curah bersubsidi itu.
Redaktur : Sriyono
Komentar
()Muat lainnya