Kawal Pemilu Nasional Mondial Polkam Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Otomotif Rona Telko Properti The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis Liputan Khusus

Selamatkan Anak Indonesia dari Organisasi Teroris

Foto : ANTARA / Ari Bowo Sucipto

rumah terduga teroris digeledah - Polisi bersenjata menjaga saat dilakukan penggeledahan rumah terduga teroris berinisial SM di Singosari, Malang, Jawa Timur, baru-baru ini.

A   A   A   Pengaturan Font

Serangan teroris perorangan terhadap seorang polisi di Medan dan dua anggota Brimob Polri di dalam masjid di Jakarta Selatan dengan menggunakan pisau belum lama ini kembali menegaskan bahaya terorisme. Kedua insiden tersebut mempertegas fakta bahwa polisi telah menjadi target utama para pelaku aksi teror anggota organisasi teroris maupun perorangan atau yang lazim disebut lone wolf (serigala tunggal).

Para pelaku teror perorangan itu umumnya adalah anak-anak muda. Mereka telah mengalami proses radikalisasi akibat menyerap beragam informasi tentang ideologi ekstrem dari banyak situs dan media sosial yang bertebaran di jejaring internet. Hasil studi Kumar Ramakrishna (2014) menegaskan hal itu.

Menurut akademisi Universitas Teknologi Nanyang Singapura, setidaknya ada 6.000 situs ekstrem dan jumlahnya diperkirakan meningkat dari waktu ke waktu sehingga diperlukan solusi kreatif untuk mengatasi fenomena lone wolf ini.
Menanggapi insiden yang terjadi terhadap anak buahnya di Ibu Kota Sumatera Utara dan Jakarta Selatan, Kapolri Jenderal Tito Karnavian membenarkan fenemona lone wolf tersebut. Dalam hal ini, Indonesia bukanlah satu-satunya negara di dunia yang sedang menghadapi bahaya riil dari kemunculan para teroris perorangan ini.

Ancaman lone wolf tersebut, seperti ditegaskan hasil studi Kumar Ramakrishna (2014), merupakan fenomena global yang meningkatkan kekhawatiran pemerintah dan masyarakat di mana pun. Untuk menjawab masalah ini, Ramakrishna mendorong pemerintah dan masyarakat di berbagai negara agar membangun kerja sama yang baik dan memperhatikan signifikansi lima dimensi dalam strategi kontra-terorisme mereka, yakni pengirim, pesan, penerima, mekanisme, dan konteks.

Dalam kasus serangan terhadap polisi di Medan dan Jakarta pada 25 dan 30 Juni 2017 itu, kalangan Polri menuding mereka sebagai simpatisan ISIS. Namun, aksi-aksi kekerasan mereka itu sama sekali tak dapat dibenarkan para ulama dan komunitas muslim arus utama karena bertentangan dengan ajaran Islam yang damai.
Halaman Selanjutnya....


Redaktur : Marcellus Widiarto
Penulis : Antara

Komentar

Komentar
()

Top