Sejumlah Negara Masih Terpecah soal Penyediaan Dana Iklim
Para aktivis melakukan protes di konferensi perubahan iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa COP29, di Baku, Kamis (21/11).
Foto: istimewaBAKU – Draf baru Perjanjian Iklim yang diluncurkan pada hari Kamis (21/11) di Perundingan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa, Conference of the Parties to the United Nations Framework Convention on Climate Change (COP29), gagal memecahkan kebuntuan terkait dana, sehingga waktu terus berjalan bagi negara-negara untuk mencapai kesepakatan keuangan triliunan dollar AS yang telah lama dinantikan.
Dikutip dari The Straits Times, COP29 seharusnya berakhir pada 22 November, tetapi draf terbaru hanya menggarisbawahi perpecahan saat negara-negara kembali ke meja perundingan.
“Mengenai teks secara keseluruhan, saya tidak akan berbasa-basi, ini jelas tidak dapat diterima sebagaimana adanya sekarang. Saya yakin tidak ada satu pun negara ambisius yang menganggap hal ini cukup baik,” kata Komisioner Iklim Uni Eropa, Wopke Hoekstra.
Hampir 200 negara di Baku seharusnya menyetujui target baru untuk mengganti dana 100 miliar dollar AS per tahun yang dijanjikan negara-negara kaya untuk negara-negara miskin guna membantu mereka beradaptasi dengan dampak perubahan iklim yang makin memburuk dan menghentikan penggunaan bahan bakar fosil yang mencemari.
Banyak negara berkembang mendesak pendanaan sebesar 1,3 triliun dollar AS, sebagian besar dari kas pemerintah, meskipun negara-negara kaya menolak tuntutan tersebut dan bersikeras uang swasta harus menjadi bagian dari tujuan akhir.
Draf terbaru mengakui negara-negara berkembang memerlukan komitmen setidaknya “USD (X) triliun” per tahun, tanpa memperhitungkan angka pasti penting yang diminta di Baku.
Tidak Terpecahkan
Ali Mohamed, Ketua Kelompok Negosiator Afrika, sebuah blok negosiasi penting, mengatakan masalah yang tidak terpecahkan adalah angka konkret yang hilang.
“Inilah alasan kita ada di sini, tetapi kita belum lebih dekat dan kita membutuhkan negara-negara maju untuk segera terlibat dalam masalah ini,” kata Mohamed, yang juga merupakan Utusan Iklim Kenya.
Poin-poin penting lainnya yang menjadi perdebatan, termasuk siapa yang menyumbang dan bagaimana uang itu dikumpulkan dan disalurkan, tidak terselesaikan dalam dokumen setebal 10 halaman itu.
Banyak negara juga telah menyatakan kekhawatiran janji untuk meninggalkan bahan bakar fosil yang dibuat pada COP28 tahun lalu diabaikan di Baku.
Menteri Iklim Irlandia, Eamon Ryan, menegaskan negosiasi mengenai keuangan berjalan maju dalam diskusi rahasia. "Teks ini jelas bukan teks final. Teks ini akan sangat berbeda. Namun, saya rasa masih ada ruang untuk kesepakatan lebih lanjut," katanya.
Sedangkan Menteri Iklim dan Lingkungan Hidup Norwegia, Andreas Bjelland Eriksen, juga menawarkan pandangan yang lebih cerah. “Batas waktunya belum tiba,” katanya.
Draf tersebut memperkuat posisi yang luas dan berseberangan antara negara maju dan negara berkembang yang sebagian besar telah bertahan sejak COP29 dibuka lebih dari seminggu yang lalu.
Negara-negara maju menginginkan semua sumber pendanaan, termasuk uang publik dan investasi swasta, diperhitungkan menuju tujuan tersebut, dan agar negara-negara kaya yang tidak berkewajiban membayar, seperti Tiongkok, ikut menyumbang. Tiongkok mengatakan bahwa mereka telah menyediakan sejumlah besar pendanaan iklim.
Negara-negara berkembang menginginkan agar uang tersebut sebagian besar berasal dari anggaran pemerintah yang besar dalam bentuk hibah atau uang tanpa syarat, bukan pinjaman yang menambah utang nasional. Negara-negara berkembang menghadapi peningkatan biaya dan utang akibat bencana yang terkait dengan iklim.
“Teks keuangan baru menyajikan dua ujung ekstrem tanpa banyak hal yang bisa dijembatani,” kata Li Shuo, direktur pusat iklim Tiongkok di Asia Society Policy Institute.
Hoekstra mengatakan, Uni Eropa masih memerlukan kejelasan mengenai elemen mana dalam kesepakatan yang akan diperhitungkan dalam tujuan keuangan akhirnya.
“Dengan berat hati saya sampaikan, masih banyak pekerjaan yang harus kami lakukan, untuk jabatan presiden, dan semua pihak yang terlibat,” katanya.
Uni Eropa dan Amerika Serikat, dua penyedia keuangan iklim terbesar, telah menolak tekanan untuk menetapkan angka sampai bentuk kesepakatannya lebih jelas.
Berita Trending
- 1 Hati Hati, Banyak Pengguna yang Sebarkan Konten Berbahaya di Medsos
- 2 Lulus Semua, 68 Penerbang AL Tuntaskan Kursus Peningkatan Profesi Selama Setahun
- 3 Ayo Terbitkan Perppu untuk Anulir PPN 12 Persen Akan Tunjukkan Keberpihakan Presiden ke Rakyat
- 4 Pemerintah Jamin Stok Pangan Aman dengan Harga Terkendali Jelang Nataru
- 5 Cegah Pencurian, Polres Jakbar Masih Tampung Kendaraan Bagi Warga yang Pulang Kampung
Berita Terkini
- Jembatan Hanyut Akibatkan Banjir Situbondo dan Ratusan Warga Terisolir
- Pilih Pelatih Baru, Arema FC Berhati-hati dan Penuh Pertimbangan
- Tutup Putaran Pertama, Persik Kediri Berambisi Hasil Tiga Poin
- Sorak Hore! 1.500 Tahanan Kabur dari Penjara Mozambik
- Sinyal Perang Saudara Berlanjut, 14 Polisi Suriah Tewas Disergap Pasukan Loyalis Assad