Sebanyak 345 Juta Orang di Dunia Menuju Ambang Kelaparan
Foto: Sumber: FAO - KORAN JAKARTA/ONES/AND» Perlu solusi politik untuk mengizinkan gandum dan biji-bijian dari Ukraina kembali ke pasar global.
» Pemerintah harus menolak langkah-langkah proteksionis dan investasi untuk membantu negara-negara termiskin di dunia.
NEW YORK - Laporan tahunan badan PBB, Program Pangan Dunia (WFP) tentang Kelaparan, menunjukkan jumlah kelaparan akut di seluruh dunia meningkat seiring dengan melonjaknya harga bahan bakar dan makanan yang dipicu perang di Ukraina.
Kepala WFP, David Beasley, pada Rabu (6/7) waktu Washington, mengatakan bahwa saat ini rekor orang sangat lapar di tengah melonjaknya harga bahan bakar dan makanan mencapai 345 juta jiwa.
"Jumlah 345 juta orang ini berurut menuju ambang kelaparan," kata Beasley.
Rekor tersebut, jelasnya, meningkat 24 persen dari 276 juta jiwa pada awal 2022, sedangkan pada awal 2020 sebelum pandemi Covid-19, jumlahnya hanya 135 juta orang.
Dengan tambahan tersebut, secara keseluruhan jumlah orang di dunia yang terkena dampak kelaparan berkisar 702 juta hingga 828 juta orang pada 2021 atau 46 juta lebih banyak dari rata-rata tahun sebelumnya sebesar 722 juta orang.
Beasley menyampaikan hal itu pada pertemuan untuk merilis laporan terbaru tentang kelaparan global oleh WFP dan empat badan PBB lainnya.
"Ada bahaya nyata, itu akan naik lebih tinggi dalam beberapa bulan ke depan," kata Beasley.
"Yang lebih mengkhawatirkan adalah ketika kelompok ini dipecah, 50 juta orang yang mengejutkan di 45 negara hanya selangkah lagi dari kelaparan," tambahnya.
Menurut PBB, masalah pasokan makanan sangat parah di Afrika dan Timur Tengah.
Mengapa kelaparan dunia meningkat? Laporan PBB mengatakan tantangan untuk mengakhiri kelaparan dan kekurangan gizi tumbuh karena pemulihan yang tidak merata setelah pandemi Covid-19, konsekuensi dari perubahan iklim dan konflik bersenjata.
Perang di Ukraina memiliki dampak yang parah terkait ketahanan pangan global setelah rantai pasokan berada di bawah tekanan akibat pandemi Covid-19. Baik Ukraina maupun Russia adalah pengekspor utama biji-bijian pokok dan minyak bunga matahari. Kedua negara menyumbang sepertiga dari ekspor gandum dan jelai dunia dan setengah dari ekspor minyak bunga matahari dunia. Russia dan sekutunya, Belarus, adalah dua pengekspor kalium terbesar, bahan utama pupuk.
Solusi Politik
Beasley pun mendesak solusi politik untuk mengizinkan gandum dan biji-bijian dari Ukraina, yang disebutnya "keranjang roti dunia" untuk masuk kembali ke pasar global.
Beasley juga menyerukan pendanaan baru bagi kelompok-kelompok kemanusiaan untuk menangani "tingkat kelaparan yang meroket,". Begitu juga bagi pemerintah untuk menolak langkah-langkah proteksionis dan investasi untuk membantu negara-negara termiskin di dunia. "Jika langkah-langkah tersebut telah dilaksanakan, perang di Ukraina tidak akan memiliki dampak global yang membawa bencana seperti hari ini," pungkasnya.
Dalam kesempatan terpisah, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengajak masyarakat bersyukur karena harga beras di Indonesia yang tidak naik, padahal saat ini sedang terjadi gejolak rantai pasok pangan di dunia karena konflik militer Russia dan Ukraina.
Meskipun demikian, Presiden mengingatkan seluruh pihak untuk selalu mewaspadai rantai pasok pangan dan energi saat ini, terutama komoditas gandum karena Indonesia merupakan importir gandum.
"Ini hati-hati, yang suka makan roti, yang suka makan mi, bisa harganya naik," kata Presiden.
Beberapa negara, kata Presiden, sudah mengalami kekurangan pangan dan kelaparan karena terhambatnya pasokan pangan akibat perang Ukraina dan Russia.
"Bayangkan, berapa ratus juta orang bergantung kepada gandum Ukraina dan Russia? dan sekarang ini sudah mulai karena barang itu tidak bisa keluar dari Ukraina, tidak bisa keluar dari Russia," kata Jokowi.
Pengamat Ekonomi dari Universitas Atmajaya Jakarta, Yohanes B Suhartoko, yang diminta pendapatnya, mengatakan setelah Covid-19 terjadi lonjakan permintaan komoditas makanan, baik sebagai permintaan akhir maupun sebagai permintaan antara sebagai input.
Namun demikian, produksi komoditas makanan tidak bisa memenuhinya sehingga sesuai hukum pasar, kelebihan permintaan mendorong kenaikan harga.
"Mereka yang berpenghasilan rendah tidak mampu membelinya dan lonjakan kelaparan tidak bisa dihindarkan," kata Suhartoko.
Redaktur: Vitto Budi
Penulis: Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Ini Solusi Ampuh untuk Atasi Kulit Gatal Eksim yang Sering Kambuh
- 2 Kenakan Tarif Impor untuk Menutup Defisit Anggaran
- 3 Penyakit Kulit Kambuh Terus? Mungkin Delapan Makanan Ini Penyebabnya
- 4 Perkuat Implementasi ESG, Bank BJB Dorong Pertumbuhan Bisnis Berkelanjutan
- 5 Jangan Masukkan Mi Instan dalam Program Makan Siang Gratis