Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Save the Children: "20 Juta Anak Eropa Hidup dalam Kemiskinan"

Foto : dw/dpa/picture alliance/Jens Büttner
A   A   A   Pengaturan Font

BERLIN - Data dari organisasi bantuan Save the Children menyebutkan, setidaknya 20 juta anak di negara anggota Uni Eropa hidup dalam kemiskinan. Jumlah anak yang berisiko hidup dalam kemiskinan pada tahun 2021 meningkat sebanyak 200.000 menjadi 19,6 juta, demikian laporan terbaru lembaga tersebut.

Setiap anak keempat di Eropa terdampak, kata laporan tersebut. Meningkatnya biaya hidup dan pandemi Covid-19 disebutkan jadi penyebab utama meningkatnya angka kemiskinan anak.

"Jumlahnya membahayakan," kata Eric Grosshaus, Manajer Advokasi Kemiskinan Anak dan Ketidaksetaraan Sosial Save the Children Jerman. Ditambahkan oleh dia bahwa di Jerman yang tergolong negara paling makmur di Uni Eropa, lebih dari 2 juta anak hidup dalam kemiskinan pada tahun 2021 lalu.

"Dengan satu dari lima anak hidup dalam kemiskinan secara nasional, tidak ada lagi alasan untuk mengelak. Pemerintah Jerman harus menepati janji mengatasi angka kemiskinan anak," ungkap Grosshaus.

Para peneliti menggunakan indikator AROPE, yang biasa dipakai Uni Eropa dalam mengukur perkembangan dalam mengejar target hingga tahun 2030 terkait eradikasi kemiskinan dan pengucilan. Spanyol dan Rumania diganjar skor terburuk dengan masing-masing mendapat 33,4 persen dan 41,5 persen anak yang berisiko hidup dalam kemiskinan dan dikucilkan. Jerman sendiri sedikit di bawah rata-rata Eropa, yakni 23,5 persen, sedangkan risiko kemiskinan anak paling rendah berada di Finlandia (13,2 persen) dan Denmark (14 persen).

Lembaga bantuan ini menyebut, bersumber pada data tambahan yang diberikan oleh 14 negara Eropa sepanjang Oktober hingga Desember 2022, lonjakan harga pangan seperti susu, sereal dan minyak goreng akibat invasi Russia ke Ukraina memperparah situasi. Keluarga berpenghasilan rendah dan menengah yang terutama sangat rentan terdampak kenaikan harga.

Anak-anak berlatar belakang migran, pengungsi, pencari suaka, anak tanpa dokumen dan pendamping menjadi pihak yang paling terpukul, ungkap laporan tersebut. Mereka yang tinggal dengan orang tua tunggal, keluarga besar yang kurang beruntung, anak penyandang disabilitas, dan anak dari etnis minoritas juga berisiko tinggi terlilit kemiskinan.

Direktur Save the Children Eropa, Ylva Sperling, menegaskan bahwa semestinya tidak ada anak yang berangkat ke sekolah dalam keadaan lapar, tinggal di rumah tanpa pemanas atau mengkhawatirkan pekerjaan orang tua mereka dari ancaman PHK.

"Namun, dampak dari banyak krisis di Eropa menjadikan, memasak makanan atau memanaskan rumah bukan lagi menjadi prioritas bagi banyak keluarga, dan ini membuat anak-anak kehilangan pemenuhan kebutuhan pokok yang mereka perlukan untuk perkembangan dan kesejahteraan mereka," kata Sperling.

"Sekarang, adalah waktunya mengambil keputusan berani dan menyiapkan pendanaan strategis untuk mempercepat perluasan perlindungan bagi generasi anak saat ini hingga generasi mendatang, untuk mencegah terpuruknya mereka ke dalam dampak krisis," pungkas dia. DW/DPA/I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat
Penulis : Ilham Sudrajat

Komentar

Komentar
()

Top