Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Reformasi Struktural I Pandemi Jadi Momentum Percepat Transformasi Ekonomi

Saatnya Tumpuan Ekonomi Beralih dari Konsumsi ke Investasi

Foto : Sumber: BPS
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan pemerintah terus memastikan reformasi struktural dan transformasi ekonomi tetap berjalan di tengah masa pandemi Covid-19.

"Dalam menghadapi pandemi Covid-19 sekarang ini, pemerintah sejak awal sangat serius melakukan langkah-langkah, baik dalam penanganan sisi kesehatan termasuk program vaksinasi, juga perlindungan sosial untuk mengurangi beban masyarakat terdampak. Selain itu, pemerintah juga memastikan proses reformasi struktural dan transformasi ekonomi terus berjalan," kata Presiden di Jakarta, Selasa (13/7).

Pandemi, kata Kepala Negara, tidak boleh menjadi penghambat reformasi struktural ekonomi. Sebab, justru pandemi menjadi momentum untuk mempercepat reformasi struktural.

"Hal ini telah kita lakukan melalui salah satunya lahirnya UU Cipta Kerja dan berbagai aturan turunannya," kata Jokowi.

Kepala Negara menjelaskan struktur ekonomi Indonesia selama ini lebih dari 50 persen dikontribusikan oleh konsumsi masyarakat, sehingga harus dialihkan secara perlahan ke sektor yang produktif, dengan mendorong industrialisasi, hilirisasi, investasi, dan meningkatkan ekspor.

"Terlebih dalam kondisi pandemi seperti saat ini, investasi merupakan kunci utama dalam pemulihan dan akselerasi pertumbuhan ekonomi," kata Presiden.

Menanggapi hal itu, Pengamat Ekonomi dari Universitas Katolik (Unika) Atmajaya Jakarta, Yohanes B. Suhartoko, menegaskan sudah saatnya kontribusi investasi terhadap produk domestik bruto (PDB) mulai ditingkatkan, jangan hanya bergantung ke konsumsi. "Jika pengeluaran konsumsi untuk produk domestik dampak multiplier-nya besar, namun jika pengeluaran konsumsi untuk produk asing, maka dampak multiplier-nya relatif kecil," kata Suhartoko.

Pentingnya meningkatkan kontribusi investasi karena dampak multiplier effect-nya yang relatif besar dan meningkatkan penyerapan tenaga kerja sehingga meningkatkan pendapatan masyarakat.

Kendati demikian, dia mengakui ada sejumlah hal yang perlu diperhatikan dalam meningkatkan kontribusi investasi, di antaranya mendorong investasi yang mempunyai forward dan backward linkage. "Tujuannya, agar semakin besar dampak multiplier," katanya.

Selain itu, yang paling penting adalah membangun investasi industri manufaktur yang berorientasi ekspor dengan mengandalkan bahan baku lokal sehingga meningkatkan nilai tambah dan daya tahan industri.

Sesuai Janji Presiden

Dalam kesempatan terpisah, Pakar Ekonomi dari Universitas Airlangga Surabaya, Wasiaturrahma, mengatakan reformasi struktural ekonomi memang sesuai dengan janji Presiden untuk menuntaskan program ekonomi jangka panjang dan melanjutkan program-program ekonomi dengan kualitas yang lebih baik di bidang infrastruktur, investasi asing dan lokal, maupun kesejahteraan rakyat.

"Foreign capital may be flowing back to (modal asing mungkin mengalir kembali ke) Indonesia sehingga kita bisa menjaga pertumbuhan tidak jatuh ke bawah 5 persen tahun ini. Diperkirakan average 5,3 persen selama periode Jokowi yang kedua. Sulit untuk lebih tinggi karena tidak mudah melakukan reformasi struktural," kata Wasiaturrahma.

Apalagi harga-harga komoditas sebagai andalan ekspor masih lesu dan nampaknya akan tetap lesu selama lima tahun mendatang karena global business cycle dan transformasi ekonomi Tiongkok dari sektor sekunder ke tersier. "Tapi, average 5,3 persen bisa menjadi pemicu untuk menjadi 6 persen untuk lima tahun ke depan. Perekonomian Indonesia berada di jalur yang benar dan semakin membaik meski tidak secepat yang diinginkan kebanyakan orang," katanya.

Dengan bonus demografi yang menjanjikan di dunia, akan menjadi salah satu daya tarik bagi penanaman modal asing langsung atau Foreign Direct Investment (FDI) karena Indonesia dinilai sebagai pasar domestik yang sangat besar. Apalagi, capital base juga masih rendah sehingga untuk meningkatkan rata-rata imbal hasil masih sangat jauh dari inflection point.

"Tinggal, bagaimana pemerintah merancang insentif bagi mereka agar industrialisasi itu tidak hanya hilirisasi, tapi dari hulu sampai hilir," katanya. n ers/SB/E-9


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top