Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Saatnya Elite Saling Memaafkan

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Suasana Lebaran tahun ini agak berbeda dari tahun-tahun lalu karena politik pascapilpres masih panas gara-gara ada yang menggugat ke MK. Meski demikian, kesan terkuat yang muncul di tengah masyarakat bawah malah positif. Mereka saling memaafkan dalam keceriaan sebagaimana lazimnya suasana berlebaran.

Kalau ada kesan negatif tampaknya hanya sebatas di kalangan elite politik terutama yang sering muncul di televisi dalam perdebatan sengit yang telanjur terpolarisasi antara kubu 01 dan 02. Hal ini membuktikan bahwa elite politik ternyata tidak bisa menjadi teladan dalam hidup berbangsa dan bernegara. Mereka tiap debat di TV selalu emosional, sehingga banyak kata kasar terlontar dengan ekspresi garang.

Selain itu, polarisasi akibat berbeda pilihan politik masih juga panas di media sosial. Sejumlah warganet masih gemar saling cela, hina, sehingga justru muncul kesan sama-sama tercela dan terhina. Karena itu, suasana damai saling memaafkan di kalangan masyarakat bawah yang sama-sama berlebaran harus menjadi spirit baru bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pada titik ini, masyarakat bawah justru layak dijadikan teladan bagi kalangan elite politik dalam berbangsa dan bernegara. Itulah ironisme elite politik, tapi jika yang ironis tersebut bisa disadari, maka kehidupan berbangsa dan bernegara akan menjadi baik-baik saja, kembali damai dan bersatu, meskipun ada perbedaan pilihan politik.

Memang, urusan politik terkait pilpres belum selesai, masih sebelum MK memutuskan gugatan. Tapi justru karena ada momentum Lebaran, maka semua pihak layak mengedepankan sikap dan perilaku damai dengan saling memaafkan. Semua layak menyadari bahwa hiruk-pikuk kampanye hingga pelaksanaan pilpres telah menghabiskan energi dan meretakkan persatuan bangsa. Mungkin banyak yang merasa sakit hati. Tapi semua harus dilupakan dalam suasana Lebaran. Semua harus saling memaafkan.

Semua layak mendesak elite politik tidak terus memelihara ironisme tersebut, dengan sama-sama suka emosional karena dampaknya akan negatif bagi kehidupan. Tapi jauh lebih negatif lagi jika pendukungnya justru memperkuat ironisme tersebut dan makin emosional.

Momentum Lebaran, sejak dulu hingga sampai kapan pun, selalu menghadirkan spirit egaliter. Spirit ini menempatkan manusia dalam kesetaraan nasib sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan, maka harus selalu damai. Spirit egaliter selalu diwujudkan orang tua terhadap anak cucu, saling memaafkan. Sebab semua tidak lepas dari kekhilafan dan kesalahan disengaja atau tidak.

Bagi orang tua, andai ada anak berbuat salah, tapi bersedia minta maaf dalam suasana Lebaran, akan dimaafkan. Orang tua juga akan minta maaf, sehingga yang terjadi saling memaafkan. Semua menyadari betapa sebagai manusia memang selayaknya saling memaafkan karena hanya dengan begitu selanjutnya akan mudah menghayati hidup damai. Namun, saling memaafkan dan kemudian menghayati hidup damai, tentu sulit diwujudkan jika tidak ada pertemuan. Maka, spirit egaliter dalam momentum Lebaran tak bisa diwujudkan, tanpa ada pertemuan. Tradisi mudik berlangsung karena pentingnya ada pertemuan antara sesama manusia yang telah terikat jalinan sosial yang sempat berjauhan dan terpisahkan jarak.

Jokowi-Prabowo

Dengan demikian, pertemuan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Capres 02 Prabowo seharusnya tak perlu ditunda-tunda lagi. Hal itu bisa menafikan spirit egaliter yang diperlukan untuk menghayati hidup damai sebagai sesama yang bisa berdampak positif di kalangan masyarakat luas.

Sangat disayangkan, jika keduanya belum juga bisa bertemu dalam suasana Lebaran. Sebab dampak negatifnya bisa dirasakan. Alih-alih bisa menjadi teladan baik, justru karena keduanya belum juga bisa bertemu malah rentan tercela di mata masyarakat luas. Bagaimana tidak, jika bertemu saja harus ditunda-tunda, padahal sama-sama sesama pemimpin.

Seharusnya, dalam momentum Lebaran, perbedaan kepentingan politik bukan kendala untuk bertemu. Apalagi keduanya berada dalam jarak dekat, tidak seperti banyak rakyat yang harus susah payah mudik untuk bisa bertemu keluarga, kerabat, serta tetangga di kampung halaman.

Indonesia adalah kampung halaman keduanya. Maka, seharusnya tak ada lagi kendala untuk secepatnya bertemu dalam suasana Lebaran. Jika Jokowi dan Prabowo ternyata belum juga bisa bertemu dalam suasana Lebaran, kesannya seolah-olah tidak lagi dalam satu kampung halaman bernama Indonesia. Kesan ini mungkin terlalu hiperbolis, tapi polarisasi bangsa sangat megkhawatirkan akibat persaingan politik yang sangat panas.

Sungguh sulit dibayangkan rakyat tidak akan ketar-ketir, jika pertemuan Jokowi dan Prabowo terus tertunda-tunda. Sedangkan suasana Lebaran sudah berlalu. Sementara itu, urusan politik terkait pilpres jadi berlarut-larut dan diwarnai kemelut.

Karena itu, segenap rakyat perlu berdoa dan berharap semoga Jokowi dan Prabowo segera bertemu, bersalaman, dan berpelukan. Lihat saja masyarakat yang telah mudik ke kampung halaman bertemu dengan sesama yang terikat jalinan tali sosial agar semuanya tetap layak disebut sebagai makhluk sosial, bukan "binatang politik." n

Penulis Dekan FIK

Universitas Sains Al-Qur'an, Wonosobo, Jawa Tengah

Komentar

Komentar
()

Top