Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Stabilitas - Pelemahan Rupiah Sangat Menggerus Daya Beli Masyarakat

Rupiah Melemah, Sulit Menguat Lagi kalau Sudah Tembus Level Psikologis Rp16.000/US$

Foto : AFP/BAY ISMOYO

RUPIAH MELEMAH I Petugas penukaran uang menghitung uang rupiah dan dolar AS di Jakarta, beberapa waktu lalu. Nilai tukar rupiah, Senin (14/8) sudah sempat menyentuh level 15.310 per dollar AS. Jika sampai menembus level psikologis baru yaitu 16.000 per dollar AS, bakal sulit untuk menguat ke level yang wajar kembali.

A   A   A   Pengaturan Font

Faktor yang dapat membantu suatu negara meninggalkan status middle income trap adalah inovasi.

JAKARTA- Mimpi Pemerintah untuk menjadi negara maju dan masuk kategori lima besar dunia pada 2045 mendatang sangat sulit diwujudkan jika melihat salah satu indikator ekonomi yaitu nilai tukar rupiah yang terus melemah.

Depresiasi rupiah itu, kalau sampai menembus level psikologis baru yaitu 16.000 per dollar Amerika Serikat (AS) bakal sulit untuk menguat ke level yang wajar kembali di masa mendatang.

Pengamat Ekonomi dari STIE YKP Yogyakarta, Aditya Hera Nurmoko yang diminta pendapatnya di Jakarta, Senin (14/8) mengatakan Pemerintah terus-menerus mengeluarkan kebijakan yang bertujuan mendorong peningkatan pendapatan per kapita masyarakat, agar bisa keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah (middle income trap).

Namun di sisi otoritas moneter yaitu Bank Indonesia (BI) gagal menjaga kurs rupiah yang trend-nya terus tertekan dan pada perdagangan, Senin (14/8) sudah sempat menyentuh level 15.310 per dollar AS.

"Rupiah yang melemah sudah langsung menjadi inflasi yang besar sekali, karena menggerus daya beli, apalagi terhadap produk-produk impor. Kalau rupiah tidak punya fundamental yang kuat karena tidak ada kebijakan yang melindungi nilainya, maka tidak akan ada negara yang mampu mempertahankan nilai mata uangnya karena itu gelombang dunia," kata Aditya.

Terus melemahnya rupiah jelas Aditya karena kebijakan BI yang tidak mengantisipasi suku bunga global yang terus naik, khususnya suku bunga The Fed di AS yang sudah menyentuh level 5,5 persen, sehingga membuat mata uang regional seperti yen Jepang ikut jatuh. Sementara negara-negara Uni Eropa melakukan antisipasi dengan ikut mengerek naik suku bunga kebijakannya.

Baca Juga :
Rupiah Masih Tertekan

Nilai mata yang suatu negara jelasnya merupakan cerminan realitas kekuatan fondasi ekonomi negara yang tidak bisa disangkal. Kalau mata uang lemah, maka dominasi ekonominya pasti melemah.

Apalagi di Indonesia, indeks inflasi terdistorsi, sehingga tidak menunjukkan nilai riilnya. Padahal, inflasi berarti daya beli masyarakat melemah dan kemiskinan meningkat, karena gaji karyawan/pegawai tidak bisa mengimbangi kenaikan harga (inflasi).

"Kenaikan Upah Minimum Regional (UMR) tidak ada gunanya kalau inflasinya tinggi. Kondisinya malah tidak ada kenaikan gaji karyawan atau malah gaji dipotong, karena marjin usaha pun tidak bisa mengejar ekonomi biaya tinggi," kata Aditya.

Sementara, di perbankan sudah bukan rahasia umum lagi, kalau kredit properti sudah mencapai 1.400 triliun rupiah, sedangkan kredit konsumsi di atas 1000 triliun rupiah. Hal itu akan menjadi masalah nasional yang serius, sedangkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membiarkan bank membagi deviden ke pemegang saham dalam porsi yang besar, tanpa membuat pencadangan untuk potensi krisis kredit macet.

"Dengan kelemahan dan keabaian pejabat, bila nanti ada masalah besar, bisa saja tidak ada yang mau bertanggung jawab," kata Aditya.

Panjang dan Rumit

Sementara itu, Bank Dunia seperti dikutip dari Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT), Universitas Gadjah Mada (UGM) menyebutkan jalan menuju negara maju cukup panjang dan rumit. Bank Dunia menyatakan Indonesia kemungkinan akan terjebak di negara berpendapatan menengah (Middle Income Trap/MIT). Berdasarkan pengalaman lembaga tersebut, negara-negara biasanya terjebak pada dua tahap, pertama ketika negara masuk dalam kisaran pendapatan per kapita 11.000-12.000 dollar AS per kapita per tahun dan pada tahap berikutnya ketika masuk pada kisaran pendapatan 15.000-16.000 dollar AS per kapita per per tahun.

Pemerintah sendiri membuat target ambisius dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Panjang menjadi negara maju pada 2045 mendatang dengan pemdapatan per kapita 23.050 dollar atau sekitar 345 juta rupiah per orang per tahun dari saat ini dengan 4.050 dollar AS per kapita per tahun.

Ambang batas yang digunakan untuk menentukan apakah suatu negara terjebak di MIT adalah antara 5 persen dan 45 persen dari PDB per kapita AS. Sebuah studi dilakukan pada tahun 2012 untuk melihat berapa banyak negara yang telah masuk MIT dan berapa banyak negara yang merupakan negara berpenghasilan tinggi.

Felipe, Abdon dan Kumar (2012) mengatakan bahwa negara yang terjebak sebagai MIT dapat dilihat dari batas waktu 28 tahun untuk negara berpenghasilan rendah, menengah (Keseimbangan Kemampuan Berbelanja (KKB) meningkat 4,8 persen per tahun), dan 14 tahun untuk negara berpenghasilan menengah tinggi dengan kenaikan KKB per tahun 3,5 persen. Jika negara-negara itu melebihi ambang batas jumlah tahun, mereka akan diklasifikasikan sebagai terjebak di MIT.

Aniello Iannone, kandidat Magister Ilmu Politik, Universitas Diponegoro, dan analis junior di Institut Analisis dan Hubungan Internasional (IARI), dalam analisis kebijakan yang diterbitkan oleh PSSAT UGM, baru-baru ini menyatakan bahwa negara yang ingin keluar dari MIT harus mengikuti beberapa faktor, stabilitas ekonomi, kemajuan dan kohesi sosial, kemajuan teknologi, kebijakan hukum, peraturan kelembagaan, dan pembangunan berkelanjutan.

Salah satu faktor yang dapat membantu suatu negara meninggalkan status MIT adalah inovasi. Tingkat inovasi yang rendah dapat memperkuat keadaan semakin terjebak di MIT.

"Kelembagaan yang lemah juga dapat menjadi masalah untuk menjadi negara berpenghasilan tinggi, terutama jika berdampak pada efisiensi kerangka hukum, perlindungan hak milik, dan kualitas peraturan pemerintah yang penting untuk mendorong kegiatan inovasi dan desain," kata Aniello.

"Terakhir tapi tidak kalah penting, adalah pasar tenaga kerja dan modal manusia yang tidak efisien. Negara harus memanfaatkan talenta pekerja secara efisien, dengan fleksibilitas dalam menetapkan upah dan praktik perekrutan dan pemecatan," tambahnya.

Lebih lanjut Bank Dunia mengatakan Indonesia memiliki struktur yang berlapis-lapis, Indonesia menempati urutan ke-73 dari 190 negara dan peringkat ke- 50 untuk daya saing. Hal itu berarti birokrasi di Indonesia terlalu banyak aturan sehingga memperlambat investasi.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top