Taufik Rachmat Nugraha, National University of Singapore
Kebanyakan orang mungkin mengira angkasa itu adalah ruang hampa. Namun nyatanya, ruang angkasa kian hari kian padat. Sampah antariksa—seperti bekas pendorong roket dan benda-benda yang dibuang astronot—meningkat terutama dalam satu dekade terakhir.
Peningkatan ini terjadi seiring dengan maraknya misi luar angkasa dan peluncuran satelit oleh pemerintah maupun perusahaan swasta. Sisa-sisa wahana antariksa itu pun bisa jatuh ke Bumi kapan saja.
Pada awal 2025, misalnya, penduduk Bumi dikejutkan oleh jatuhnya puing-puing luar angkasa dari uji coba roket Starship milik Space X yang gagal mendarat. Peristiwa ini menyebabkan kerusakan properti di Kepulauan Turks dan Caicos yang berada di wilayah kepulauan Karibia. Muasal insiden tersebut sedang dalam penyelidikan Federal Aviation Administration (FAA) Amerika Serikat.
Sebelumnya, pada penghujung 2024, sampah antariksa juga jatuh dari langit dan mendarat di sebuah desa terpencil di Kenya. Badan Antariksa Kenya (KSA) mengidentifikasi objek tersebut sebagai cincin pemisah roket peluncur berdiameter lebih dari delapan kaki dan berat lebih dari 1.100 pon. KSA masih menyelidiki asal-usul dan kepemilikan cincin tersebut.
Kejadian jatuhnya sampah antariksa atau space debris ini bukan sekali dua kali saja terjadi. Bahkan, Indonesia pun pernah beberapa kali ketiban sampah dari luar angkasa.
Meski sampai saat ini belum ada korban jiwa, risiko sampah antariksa di masa depan tidak bisa dianggap enteng. Untuk itu, pemerintah harus sigap menyiapkan langkah antisipasi. Terlebih, melihat aktivitas peluncuran objek antariksa yang kian meningkat setiap tahunnya.
Apa itu sampah antariksa dan mengapa kita harus waspada?
Merujuk Inter-Agency Space Debris Coordination Committee (IADC), sampah antariksa adalah sisa-sisa objek antariksa buatan manusia—termasuk pecahan dan semua elemen-elemen yang terdapat di dalamnya—di orbit Bumi atau yang kembali ke atmosfer Bumi, tetapi sudah tidak berfungsi.
Berdasarkan data European Space Agency (ESA) tahun 2024, jumlah sampah antariksa yang kembali ke atmosfer terus meningkat. Banyak di antaranya yang tidak habis terbakar ketika melintasi atmosfer, sehingga jatuh di lautan atau daratan.
Saat ini, setidaknya ada 36 ribu objek antariksa yang tengah dipantau oleh Satellite Surveilance Network (SSN). ESA juga memperkirakan ada lebih dari 40.000 puing-puing berdiameter lebih dari 10 cm di orbit sekitar Bumi. Sekitar lebih dari 650 objek di antaranya diperkirakan berasal dari hasil tabrakan dengan objek antariksa lain, ledakan, dan kerusakan alami lainnya.
Kenaikan jumlah sampah antariksa yang cukup signifikan ini bisa menjadi ancaman nyata bagi Bumi, termasuk bagi Indonesia yang cukup sering mendapat “kiriman” sampah antariksa milik negara lain.
Sampah antariksa yang jatuh ke Bumi bisa membawa zat berbahaya seperti hydrazine dan material radioaktif yang berpotensi mencemari lingkungan dan membahayakan kesehatan manusia serta ekosistem.
Sampah antariksa dalam kacamata hukum
Dalam hukum internasional, pengelolaan sampah antariksa diatur oleh dua konvensi utama, yaitu; The Outer Space Treaty 1967 (OST 1967) dan Liability Convention 1972.
Keduanya menegaskan bahwa setiap negara bertanggung jawab atas aktivitas antariksa mereka, termasuk dampak negatif dan kerugian yang ditimbulkan kepada pihak lain. Aturan ini berlaku umum terlepas apakah aktivitas tersebut dilakukan oleh negara maupun perusahaan swasta.
OST 1967 juga mewajibkan negara atau entitas swasta menghindari kontaminasi atmosfer Bumi dan permukaan akibat aktivitas antariksa. Contohnya adalah kasus Cosmos 954 pada 1978, ketika satelit milik Uni Soviet jatuh di bagian Utara Kanada dan menyebabkan kontaminasi bahan bakar nuklir. Uni Soviet kemudian diminta mengganti kerugian sesuai Pasal 6 OST 1967 dan Liability Convention 1972 sebesar tiga juta dolar Kanada (Rp33,7 miliar).
Selain kedua konvensi tersebut, ada pula Space Traffic Management (STM) yang bertujuan mengatur lalu lintas antariksa agar lebih aman, efisien, dan bertanggung jawab. Salah satu unsur penting yang dalam STM adalah Space Situational Awareness (SSA), yaitu mekanisme pemantauan objek-objek antariksa yang berpotensi bertabrakan atau jatuh ke permukaan Bumi.
Melalui SSA, badan otoritas antariksa setempat dapat memberikan peringatan dini, seperti pada insiden Starship awal Januari 2025, otoritas penerbangan Afrika Selatan dan Amerika Serikat mengeluarkan peringatan kepada maskapai penerbangan yang melintas soal kemungkinan jatuhnya puing-puing antariksa.
Namun, pengelolaan STM saat ini kebanyakan masih dikuasai oleh swasta, sehingga dikhawatirkan akan berpengaruh pada transparansi dan keterbukaan akses informasi. Transparansi dan akses sangatlah penting untuk menjamin keamanan aktivitas antariksa serta mitigasi risiko.
Indonesia telah menyampaikan kekhawatiran soal ini di forum international, seperti sidang United Nations Committee on the Peaceful Uses of Outer Space (UN-COPUOS). Namun, isu ini masih dalam pembahasan.
Bagaimana upaya mitigasi sampah antariksa di Indonesia?
Mitigasi sampah antariksa sangat penting bagi Indonesia, apalagi kita juga cukup aktif meluncurkan satelit, setidaknya tercatat ada 25 satelit yang pernah diluncurkan dan 15 di antaranya masih di orbit bumi, sejumlah satelit juga direncanakan bakal meluncur dalam beberapa waktu ke depan.
Dari sisi regulasi, di Indonesia sebetulnya sudah memiliki Undang-Undang Keantariksaan Nomor 21 Tahun 2013 (UU Keantariksaan) yang mengatur masalah kebencanaan antariksa, mulai dari cara penanganan hingga ganti rugi bagi korban terdampak dari jatuhan sampah antariksa.
Namun, regulasi ini masih bersifat umum dan belum mencakup pedoman mitigasi khusus seperti yang diterapkan oleh negara-negara lain. Misalnya, Amerika memiliki Orbital Debris Mitigation Standard Practice yang mengatur secara rinci desain, operasional, dan prosedur pasca-operasional objek antariksa untuk meminimalkan potensi bahaya.
Kemudian dalam praktik mitigasi, Indonesia perlu mengembangkan penerapan STM dan SSA sendiri untuk meminimalisir risiko. Pemerintah bisa menggandeng BRIN, TNI-AU, Kementerian Pertahanan, serta Kementerian Telekomunikasi dan Informatika untuk membangun sistem pemantauan yang andal.
Sistem STM domestik tidak hanya berguna untuk menjamin keselamatan dan keamanan aset antariksa Indonesia, tetapi juga bisa memberikan peringatan dini ihwal kemungkinan jatuhnya sampah antariksa di wilayah Indonesia.
Taufik Rachmat Nugraha, Research associate, National University of Singapore
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.