Yulinda Nurul Aini, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN); Dwiyanti Kusumaningrum, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dan Mochammad Wahyu Ghani, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Serangkaian skandal yang melibatkan publikasi di jurnal ‘predator’ mengguncang dunia akademis Indonesia selama beberapa tahun terakhir, terutama pada periode 2021-2023.
Fenomena ini tidak hanya mencoreng reputasi individu dosen yang terlibat, tetapi juga menciptakan krisis kepercayaan terhadap institusi pendidikan tinggi dalam negeri di mata nasional maupun internasional.
Jurnal ‘predator’ adalah jurnal berorientasi profit yang proses penerbitannya tidak melalui proses peninjauan ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan. Sebanyak 23% akademisi Indonesia telah terindikasi menerbitkan tulisan ilmiahnya di jurnal yang terindikasi ‘predator’ sejak 2015.
Rentetan skandal ini semakin terbukti lewat kajian jurnalistik Tempo pertengahan tahun 2024, yang menemukan bahwa sebagian besar guru besar di Indonesia terindikasi membayar puluhan juta untuk bisa menerbitkan karya ilmiahnya dalam jurnal ‘predator’.
Puncak dari skandal tersebut adalah ketika 11 guru besar di Universitas Lambung Mangkurat di Kalimantan Selatan, terbukti menyiasati syarat untuk bisa diangkat menjadi guru besar dengan menerbitkan tulisannya di sejumlah jurnal ‘predator’.
Skandal ini mengungkap sisi gelap dari tekanan akademis yang dihadapi oleh para dosen serta celah dalam sistem evaluasi kinerja akademis yang ada.
Salah satu faktor utama yang mendorong dosen atau calon guru besar untuk terlibat dengan jurnal ‘predator’ adalah tekanan untuk memenuhi persyaratan kenaikan pangkat dan jabatan fungsional. Sebab, publikasi ilmiah merupakan salah satu indikator utama dalam penilaian kinerja dosen di Indonesia.
Jejak guru besar di jurnal ‘predator’
Untuk menelisik hal ini, kami melakukan survei terhadap 18 dari 198 Perguruan Tinggi (PT) di Indonesia, yang terdiri dari Perguruan Tinggi Negeri (PTN), Perguruan Tinggi Kementerian/Lembaga (PTKL), dan Perguruan Tinggi Agama (PTAN).
Dari 18 PT tersebut, kami mengambil sampel 158 guru besar dengan 4.742 artikel jurnal terindeks Scopus untuk ditelusuri kredibilitasnya. Hasilnya, 8 dari 10 Guru Besar di Indonesia pernah menerbitkan artikel di jurnal ‘predator’, dengan 1.363 artikel atau hampir 30% dari sampel terbit di jurnal-jurnal terindikasi ‘predator’.
Hasil penelusuran kami menunjukkan fakta-fakta sebagai berikut:
1. Demografi pengguna jurnal ‘predator’
Survei kami menunjukkan bahwa 83,87% guru besar di Indonesia, baik secara sengaja/tidak sengaja pernah mempublikasikan artikelnya di jurnal yang berpotensi atau secara sah dikategorikan sebagai jurnal ‘predator’.
Kami mengkategorikan publikasi di jurnal ‘predator’ sebagai ‘kesengajaan’ jika jumlah publikasi artikelnya lebih dari 50% dan guru besar tersebut menjadi penulis pertama atau tunggal.
Riset kami juga menemukan bahwa 26 dari 31 guru besar yang dikukuhkan tahun 2023 terindikasi pernah menerbitkan artikel di jurnal ‘predator’, 13 di antaranya menerbitkan 10-19 artikel, bahkan 6 di antaranya menerbitkan lebih dari 20 artikel di jurnal ‘predator’.
Sebaran guru besar terkonsentrasi di wilayah Jawa Barat, Jakarta, dan Banten dengan total 44 dari 56 guru besar; 9 di antaranya bahkan menerbitkan lebih dari 20 artikel di jurnal ‘predator’.
Wilayah lain seperti Sulawesi dan Jawa Timur juga memiliki guru besar yang menerbitkan artikel di jurnal ‘predator’ dengan angka yang cukup tinggi, yaitu 25 dari 32 dan 25 dari 28 guru besar, secara berturut-turut.
Dari segi bidang, guru besar yang menerbitkan artikel di jurnal ‘predator’ mayoritas berasal dari bidang sosial humaniora (35 dari 48 guru besar), disusul bidang teknika (25 dari 26 guru besar), dan agro (23 dari 26 Guru Besar). Pada bidang sosial humaniora, 7 dari 35 dosen tersebut bahkan menerbitkan lebih dari 20 artikel di jurnal ‘predator’.
2. Berdasarkan jumlah artikel
Mayoritas publikasi jurnal ‘predator’ berasal dari guru besar di beberapa kampus yang berlokasi di wilayah Jawa Barat, Banten, dan Jakarta (438 dari 1.363 artikel di jurnal ‘predator’).
Sementara itu, guru besar di wilayah lain seperti Jawa Timur, Sulawesi, dan Jawa Tengah juga memiliki jumlah publikasi di jurnal ‘predator’ yang cukup tinggi, yaitu secara berturut-turut sebesar 288, 279, dan 271 artikel.
Dari total artikel yang dipublikasikan di jurnal ‘predator’, bidang sosial humaniora menjadi juara dengan 326 artikel, disusul bidang teknika dengan 296 artikel dan bidang agro dengan 285 artikel.
Dari segi tahun pengukuhan, 229 artikel berasal dari guru besar yang dikukuhkan tahun 2023.
Sementara itu, menurut jenis kelamin, 1.091 artikel atau 80% dari artikel di jurnal ‘predator’ merupakan terbitan dari Guru Besar berjenis kelamin laki-laki.
Tantangan mengangkat guru besar di era jurnal ‘predator’
Pengangkatan guru besar di Indonesia ke depan akan semakin menantang. Tidak seperti sebelumnya, kini perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengangkat guru besar yang diharapkan dapat diimplementasikan pada tahun 2025.
Oleh karena itu, Kementerian Pendidikan Tinggi dan Sains Teknologi (Kemendiktisaintek) perlu memastikan bahwa desentralisasi pengangkatan guru besar berjalan baik.
Pengangkatan guru besar ke depan harus mengedepankan integritas dengan proses yang lebih ketat karena penilaian tidak lagi bersifat eksternal melainkan internal dari perguruan tinggi masing-masing.
Di samping itu, proses kenaikan jabatan guru besar seharusnya dilakukan dengan mengukur kontribusi dosen secara langsung dengan berbasis meritokrasi—berdasarkan kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil.
Jika merujuk pada platform Sistem Informasi Sumber Daya Terintegrasi SISTER, pengajuan guru besar terlihat sekadar sebagai pemenuhan kelengkapan dokumen administrasi.
Secara umum, syarat pengajuan guru besar adalah memiliki jabatan akademis Lektor Kepala lebih dari 2 tahun, minimum S3 (minimum 3 tahun bekerja bagi yang baru menyelesaikan S3), memiliki satu karya ilmiah yang dipublikasikan pada jurnal internasional bereputasi, memiliki pengalaman kerja sebagai dosen minimal 10 tahun, dan memiliki angka kredit (satuan nilai dari setiap kegiatan yang sudah dilaksanakan oleh dosen) minimal 850.
Meskipun telah melalui proses telaah dokumen, proses verifikasi perlu ditingkatkan agar lebih kompetitif, transparan, dan akuntabel. Ini dapat dilakukan dengan proses ujian kepakaran dosen dan kontribusi dosen pada tri dharma perguruan tinggi—mengajar, meneliti, dan mengabdi—untuk memastikan bahwa kepakaran dan kualitas yang ditunjukkan oleh pengusul guru besar sudah sesuai dan ideal.
Kita juga perlu mengkritisi apa manfaatnya menaikkan jumlah guru besar dalam sistem pendidikan tinggi di Indonesia. Apakah dengan jumlah guru besar yang semakin banyak akan menjadikan kualitas pendidikan tinggi kita semakin baik?
Guru besar atau profesor pada dasarnya bukanlah gelar melainkan jabatan akademis tertinggi bagi dosen.
Sebagai pemilik jabatan tertinggi dalam dunia akademis, sudah seharusnya para guru besar memberikan contoh baik bagi masyarakat, terutama dalam hal kejujuran dan integritas akademis. Dengan berpegang pada kedua hal tersebut, harapannya, fenomena jurnal ‘predator’ akan hilang di masa depan, sehingga mengangkat guru besar tidak lagi menjadi proses yang meresahkan.
Yulinda Nurul Aini, Peneliti Ahli Muda, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN); Dwiyanti Kusumaningrum, Researcher, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dan Mochammad Wahyu Ghani, Peneliti Pusat Riset Kependudukan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.