Kawal Pemilu Nasional Mondial Polkam Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Otomotif Rona Telko Properti The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis Liputan Khusus
Kesenjangan Antarnegara I Indonesia Diharapkan Meluluhkan Negara-negara Maju Bahas Utang

RI Harus Suarakan Penyelesaian Utang Negara Miskin di G20

Foto : ISTIMEWA

LEO HERLAMBANG Pakar Ekonomi UISI Surabaya - Bentuk relaksasi bisa macam-macam, seperti perpanjangan jatuh tempo, keringanan bunga, dan lainnya.

A   A   A   Pengaturan Font

» Keringanan utang bagi negara- negara miskin dan berkembang penting agar tidak makin banyak yang default.

» Banyak negara yang terancam bangkrut karena salah dalam pengelolaan utang.

JAKARTA - Di tengah kegagalan membuat komunike bersama pada pertemuan tingkat Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral negara-negara kelompok 20 (G20) di Bali, pekan lalu, Indonesia tetap diharapkan bisa memainkan peran yang optimal pada pertemuan puncak para kepala negara G-20 pada November mendatang.

Harapan itu bukan hanya datang dari negara-negara miskin dan berkembang yang tengah kesulitan menghadapi krisis pangan dan energi karena harga berbagai komoditas melonjak tajam, namun juga dari lembaga-lembaga internasional.

Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF), Kristalina Georgieva, usai hadir di Bali, kembali menemui langsung Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Bogor, pada Minggu (17/7). Dalam pertemuan itu, seperti disampaikan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, IMF menaruh harapan pada Indonesia agar membujuk negara-negara maju yang tergabung di G20 supaya mau membahas masalah utang yang melilit negara-negara miskin.

Sebab, utang mereka sudah menggunung selama pandemi Covid-19, ditambah lagi dengan krisis pangan dan energi yang makin menekan pengeluaran belanja. Kondisi itu makin memburuk setelah terjadi lonjakan harga (inflasi) sejumlah komoditas, sehingga bank-bank sentral melakukan normalisasi kebijakan dengan menaikkan suku bunga acuan.

Kenaikan suku bunga itu menyebabkan mata uang mereka semakin melemah (terdepresiasi) tajam sehingga utang yang sudah menumpuk makin membengkak yang berakibat banyak negara terancam gagal bayar utang (default), salah satunya Sri Lanka yang sudah pailit.

Pakar Ekonomi dari Universitas Internasional Semen Indonesia (UISI), Surabaya, Leo Herlambang, mengatakan permintaan IMF agar RI menyuarakan suara negara miskin agar mendapat keringanan utang adalah wajar. Sebagai Presidensi G20 dengan berbagai sumber daya dan predikat investment grade Indonesia dianggap mewakili negara-negara yang tidak mampu.

"Memang harus dibantu (keringanan) karena jika suatu lembaga yang berutang, dalam hal ini negara, keberatan dengan beban utangnya akibat suku bunga, beban pandemi, dan krisis lainnya, maka dikhawatirkan negara-negara itu bisa menjadi default seperti Sri Lanka. Kalau sampai banyak negara yang jatuh gagal bayar karena krisis global ini, dampaknya juga akan dirasakan lembaga donor atau negara-negara maju lainnya," kata Leo.

Kondisi gagal bayar suatu negara bisa saja mengarah ke kerusuhan sosial yang otomatis komoditas yang mereka produksi akan melonjak. Begitu pula negara lain tidak bisa melempar produknya ke pasar itu, karena tidak punya uang untuk membeli.

"Bagi lembaga-lembaga peminjam seperti IMF sendiri akan terdampak cash flow-nya karena banyak yang gagal bayar, sehingga sangat wajar jika upaya-upaya relaksasi seperti yang mereka usulkan diharapkan bisa diterima.

"Bentuk relaksasi bisa macam-macam, seperti perpanjangan jatuh tempo, keringanan bunga, dan lainnya," kata Leo.

Salah Kelola

Sementara itu, Pengamat Ekonomi dan Universitas Katolik Atmajaya Jakarta, Yohanes B Suhartoko, mengatakan Indonesia harus menyuarakan suara negara miskin karena RI juga tengah dibebani utang yang semakin membengkak karena kenaikan suku bunga bank-bank sentral global untuk meredam inflasi.

Usulan tersebut, kata Suhartoko, sangat logis karena kebangkrutan beberapa negara terjadi bukan hanya karena salah dalam pengelolaan utang, tetapi juga akibat dampak kebijakan negara-negara maju.

"Keringanan utang terutama pada pembiayaan proyek-proyek penyediaan fasilitas publik yang membutuhkan waktu untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan masyarakat dan pada gilirannya peningkatan pajak untuk pembayaran utang pemerintah itu kembali," kata Suhartoko.

Peningkatan suku bunga, jelasnya, akan mendorong biaya utang semakin mahal. Sementara harapan permintaan penjadwalan utang dan peninjauan persyaratan utang secara bilateral cenderung tidak berjalan dengan baik.

"Penyelesaian utang secara multilateral yang didukung lembaga keuangan seperti IMF akan lebih baik terealisasi," pungkasnya.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top