
Revisi UU TNI Dinilai Minim Partisipasi Publik
Aksi civitas academica UGM menolak RUU TNI.
Foto: Istimewa
JAKARTA - Kepala Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian Universitas Gadjah Mada (UGM), Muhammad Najib Azca, menilai Revisi UU TNI minim partisipasi publik. Menurutnya, proses revisi undang-undang seharusnya dilakukan dengan penuh kehati-hatian.
"Perlu dilakukan dengan terbuka, dengan partisipasi dan deliberasi publik yang luas,” kata Najib, dalam keterangan resminya, Jumat (21/3).
Dia menjelaskan, pembahasan sebuah RUU diperlukan semacam timeline, tambahnya, penjadwalan terbuka termasuk mengundang pihak-pihak untuk menyampaikan aspirasinya. Keterlibatan dalam diskursus dan partisipasi publik diharapkan mampu menjaga prinsip demokratis sehingga mampu menimbulkan kepercayaan yang lebih besar kepada pemerintah maupun parlemen sebagai pembuat kebijakan.
“Jadi kan biar menjadi public discussion atau public deliberation”, jelasnya.
Sebagai informasi, revisi UU TNI sudah disahkan oleh DPR RI pada hari kamis (20/3) lewat rapat paripurna. Terdapat perubahan pada beberapa pasal seperti pada pasal yang menyebut prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.
Najib mengakui indikasi kembalinya praktek dwifungsi ABRI seperti yang terjadi pada masa Orde Baru melalui revisi UU TNI masih jauh. Sebab, pada masa Orde Baru, militer bisa menduduki semua posisi sipil tanpa pengecualian, baik di legislatif melalui Fraksi ABRI maupun di eksekutif.
Diaa menegaskan masih ada sejumlah agenda reformasi militer yang hingga belum dijalankan, misalnya mengenai struktur komando teritorial yang masih bertahan dan bahkan tampaknya akan dimekarkan padahal tidak compatible dengan sistem demokrasi. Selain itu, belum adanya peradilan sipil untuk militer yang melakukan pelanggaran-pelanggaran sipil juga merupakan agenda yang perlu diwujudkan.
“Nah, saat ini trendnya justru berkebalikan dengan semangat reformasi sektor keamanan”, tuturnya.
Sebagai negara yang menjalankan supremasi sipil dalam arti kepala pemerintahan merupakan otoritas sipil yang dipilih secara demokratis, kata Najib, masyarakat sipil perlu terus mengawal agar praktiknya betul-betul sejalan dengan prinsip dan mekanisme demokratis. Namun yang dikhawatirkan para aktivis masyarakat sipil adalah semakin banyaknya personil militer mengisi jabatan sipil justru mengurangi profesionalisme militer.
“Jadi yang dicemaskan dengan penambahan porsi militer untuk berperan di jabatan sipil ini adalah berkurangnya profesionalisme militer serta merosotnya prinsip meritokrasi di lembaga publik,” katanya.
Najib mengajak peran masyarakat sipil dan media untuk terus mengawal kebijakan pasca disahkannya UU TNI. Masyarakat sipil perlu konsisten membangun kecakapan dan kepakarakan dalam isu-isu spesifik, termasuk di bidang pertahanan dan keamanan.
“Saya kira proses yang terjadi sekarang ini harus terus dikritisi oleh publik, oleh civil society”, ucapnya.
Redaktur: Sriyono
Penulis: Muhamad Ma'rup
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Kemnaker Sediakan 229 Bus Mudik Gratis
- 2 Genjot Transisi Energi dan Ekonomi Hijau, Satgas Baru Diharapkan Jadi Game Changer
- 3 Pemkot Kediri Lakukan Cek Angkutan Umum
- 4 Gubernur DKI Jakarta Serahkan KJP Plus Tahap I 2025 dan Gratiskan Akses TMII
- 5 Pemerintah Kota Kediri Melakukan Pengecekan terhadap Angkutan Umum agar Aman
Berita Terkini
-
PT HK Siap Mengoperasikan secara Fungsional Tiga Ruas Tol Trans Sumatera
-
Alcaraz Tersingkir dari Miami Open, Dikalahkan Veteran Belgia Goffin
-
Perpustakaan Sulawesi Selatan Berbagi Pakaian Layak Pakai untuk Dhuafa
-
UPBU Manokwari Memastikan Penerbangan di Bandara Manokwari Meningkat Mulai 24 Maret
-
Wamendagri Bima Arya Meninjau Harga Bahan Pokok di Pasar Kosambi Bandung