Jum'at, 20 Des 2024, 01:00 WIB

Rekonstruksi Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan dalam Hukum Pidana Indonesia

Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran - Romli Atmasasmita

Foto: istimewa

Oleh: Romli Atmasasmita

Sejarah perkembangan hukum pidana Indonesia mencatat bahwa ia lahir dan dibesarkan di dalam masa penjajahan Belanda dan setelah kemerdekaan 1945 dengan UU Nomor 1 Tahun 1946 yang diberlakukan di seluruh wilayah NKRI dengan UU Nomor 73 Tahun 1958. Sejak Tahun 1958 sampai saat ini, KUHP 1946 belum mengalami perubahan signifikan sampai dengan berlakunya UU Nomor 1 Tahun 2023 yang akan berlaku efektif tanggal 1 Januari Tahun 2026. 

Menjelang berlakunya KUHP Tahun 2023, perlu bila dipertimbangkan kembali untuk melakukan reorientasi secara menyeluruh, baik mengenai aspek filosofi, visi dan misi hukum pidana Indonesia agar ramah lingkungan sosial-ekonomi dan politik kekinian, terutama dengan sistem perekonomian nasional yang merupakan pilar kesejahteraan sosial dan keadilan bagi semua warga negara Indonesia.

KUHP 2023 sekalipun telah mengalami perubahan filosofi dari keadilan retributif memasuki keadilan restoratif dan rehabilitatif dan korektif; masih memerlukan pemikiran mengenai ketentuan Pasal 1 Ayat (1) KUHP 2023 yang menganut asas hukum, tiada pidana tanpa kesalahan-geen straf zonder Schuld; asas hukum yang di negara asalnya (Belanda) telah tidak dianut dan dipraktikkan secara sepenuhnya karena telah tidak sejalan-relevan dengan perkembangan lingkungan masyarakat, baik dari aspek ekonomi dan politik serta dalam kerangka kerja sama internasional dalam pemberian bantuan timbal balik dan ekstradisi.

 Contoh, perubahan filosofi di KUHP Belanda tahun 1996 yang memberikan hak kepada seorang terdakwa menuntut jaksa penuntut untuk tidak melakukan penuntutan terhadap dirinya dengan alasan bahwa pelaku telah memberikan kompensasi terhadap korban (Pasal 76 a) merupakan perubahan mendasar dalam perkembangan pemidanaan di Belanda yang menunjukkan bahwa era keadilan retributif telah tidak relevan lagi dengan situasi dan kondisi sosial dan ekonomi negeri kincir angin itu.

Contoh lain adalah kebijakan pemerintah Amerika Serikat melalui Kejaksaan Agung yang telah menerapkan kebijakan penundaan penuntutan- deferred prosecution agreement - terhadap korporasi yang terlibat tindak pidana suap di negara lain dengan syarat ada pengakuan dari direksi korporasi, dan bersedia membayar sejumlah uang denda penalti kepada negara serta korporasi yang bersangkutan adalah pembayar pajak yang patuh dan telah memasukkan devisa kepada negara sejak korporasi didirikan sampai ketika terlibat tindak pidana suap.

Pendekatan EAL

Kebijakan hukum baru pemerintah AS dalam menyikapi korporasi yang terlibat tindak suap pidana suap/korupsi yang mencerminkan perubahan mendasar dalam memandang tindak pidana suap oleh korporasi AS dengan menggunakan pendekatan Economic Analysis of Law (EAL).

 Pendekatan EAL terhadap bekerjanya hukum dalam proses peradilan sesungguhnya merupakan pendekatan baru yang telah dilaksanakan dalam proses penuntutan di AS yang diikuti Inggeris dan Prancis juga Belanda; mengutamakan prinsip keseimbangan, efisiensi, dan kemanfaatan (KEK) atas suatu peristiwa hukum dengan tujuan diperoleh hasil maksimal yang berimbang dan bermanfaat, bukan saja demi keadilan bagi negara dan masyarakat, akan tetapi kemanfaatan bagi seluruh ekosistem lingkungan sosialekonomi masyarakat. Dalam konteks prinsip KEK dalam proses penuntutan bahkan dimungkinkan pula dalam proses penjatuhan hukuman; bertujuan untuk mencapai bukan saja kepastian dan keadilan, melainkan juga sejauh manakah kepastian dan keadilan dalam suatu peristiwa hukum menciptakan keseimbangan, efisiensi, dan kemanfaat bagi pelaku, korban dan masyarakat.

 Contoh, Misnah, seorang nenek tua renta yang telah mencuri lima buah kokoa dari kebun seorang pengusaha karena kemiskinannya telah didakwa pencurian dan telah diputus pidana percobaan, sedangkan bukti perbuatan telah mencukupi; hakim menjatuhkan putusan pidana percobaan hanya demi kemanusiaan semata. Namun, sesungguhnya jika hakim mempertimbangkan juga prinsip “cost and benefit analysis” selain analisis hukum normatif maka putusan seharusnya terdakwa dibebaskan antara lain karena keadaannya. Hal ini juga mengingat definisi siapa tersangka di dalam Pasal 1 angka 14, tersangka adalah seseorang yang karena perbuatan dan keadaannya berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagai pelaku tindak pidana. Fokus pada frasa, perbuatan dan keadaannya; seharusnya jika dipertimbangkan hakim dalam pengertian kalimat yang bersifat kumulatif bukan alternatif jelas Misnah melakukan pencurian karena keadaannya juga bukan pencurian semata-mata memang berniat mencuri sesuatu.

 Contoh lain, proyek infrastruktur pemerintah jalan tol yang kemudian telah ditetapkan direksi korporasi WIKA sebagai terdakwa karena melakukan tindak pidana korupsi. Jika digunakan pertimbangan analisis ekonomi terhadap peristiwa aquo maka dipertimbangkan nilai anggaran yang tersedia di APBN untuk proyek infrastruktur dan nilai kerugian keuangan yang menjadi temuan BPK/BPKP, dipastikan nilai anggaran yang tersedia mencapai ratusan triliun rupiah dan kerugian keuangan negara tidak mencapai setengah dari nilai proyek tersebut. Akan tetapi, karena proses penyidikan dan dilanjutkan penyitaan atas aset-aset WIKA yang juga BUMN milik negara; maka pekerjaan proyek terhenti dan anggaran negara untuk proyek tersebut tidak dapat diserap habis dan proyek tidak berjalan.

 Peristiwa tersebut tentu tidak sesuai dengan prinsip CBR yang melihat dari perspektif analisis ekonomi sebagai diuraikan di atas. Begitu pula terjadi dalam perkara tindak pidana korupsi di dalam pengelolaan pertambangan dan aktivitas pasar modal.

Di tengah program pemerintah meningkatkan kemampuan Indonesia dalam di sektor perekonomian melalui dukungan proyek-proyek strategis nasional, diperlukan reorientasi kebijakan pemerintah dalam penuntutan dan pemidanaan perkaraperkara tindak pidana korupsi yang terkait kegiatan di sektor perekonomian nasional tersebut. Hal ini dapat dilaksanakan jika kebijakan pemerintah tersebut dilandaskan pada prinsip analisis ekonomi sebagaimana diuraikan di atas; jika tidak digunakan prinsip tersebut niscaya peristiwa penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi selain merupakan prestasi dalam pemberantasn korupsi juga bersamaan dengan hal tersebut, di sisi lain terjadi hal yang bersifat kontra-produktif terutama untuk tujuan meningkatkan perekonomian nasional.

 Bertolak dari contoh-contoh kasus sebagaimana diuraikan di atas, penerapan asas hukum pidana tiada pidana tanpa kesalahan perlu digabungkan dengan tiada pidana tanpa kesalahan, tiada kesalahan tanpa kemanfaatan (geen straf zonder Schuld, geen Schuld zonder nut). Sandingan dan gabungan dua asas hukum tersebut diharapksn dapat menghasilkan dua hal, yaitu pertama mengembalikan kerugian keuangan negara dengan penuntutan pidana - criminal-based asset forfeiture, dan kedua, memulihkan/ mengembalikan kerugian keuangan negara secara maksimal melalui perampasan aset tanpa penuntutan pidana- civil-base asset forfeiture.

Redaktur: -

Penulis: -

Tag Terkait:

Bagikan: