Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Rekam Jejak Perjuangan Tokoh Pelintas Batas

A   A   A   Pengaturan Font

Judul : Djohan Effendi: Cerita Para Sahabat

Penerbit : ICRP

Cetakan : 2018

Tebal : 234 halaman

ISBN : 978-979-18756-5-6

Buku ini disusun untuk mengenang perjuangan Djohan Effendi yang wafat 17 November 2017 di usia 78 tahun. Dia dijuluki pelintas batas karena keberaniannya merombak pemikiran, kebiasaan, dan pola-pola hubungan konvensional untuk menciptakan kehidupan yang harmonis dan tegaknya hak asasi manusia. Beragam cacian, label peyoratif dan ancaman dihadapi. Namun, Djohan terus bersiteguh di jalan perjuangannya karena panggilan nurani dan tanggung jawab sebagai orang terdidik.

Pada tahun 70-an, Djohan merintis dialog antarumat beragama di Indonesia. Sebab kesalahpahaman acap kali terjadi bila tiada komunikasi intens dan interaktif. Perbedaan menyimpan benih konflik, kecuali dijembatani dengan saling memahami bahwa yang berbeda bukanlah salah atau ancaman. Pemahaman demikian akan menemukan titik kesepakatan yang bisa dijadikan pijakan hidup bersama.

Penulis naskah pidato Pak Harto tersebut menyemai gagasan progresifnya lewat tulisan di berbagai media. Dia juga mendirikan wadah seperti Masyarakat Dialog Antaragama (Madia) dan Indonesian Conference On Religion and Peace (ICRP). Wadahwadah tersebut hingga kini masih eksis tak hanya menyelenggarakan dialog antaragama. Mereka juga berkembang menjadi kerja sama antarumat beragama di bidang sosial keagamaan dan kemasyarakatan (hlm v).

Menurut Djohan, kerukunan umat beragama di Indonesia harus dibiarkan tumbuh secara alami. Jika diatur, ekspresi kerukunan yang tercipta akan penuh dusta, tidak otentik. Dialog intens harus digerakkan demi tumbuhnya kerukunan alamiah tersebut. "Tidak berlebihan jika ada yang menyebut Mas Djohan sebagai salah satu peletak teologi kerukunan beragama. Karena gagasan-gagasannya tentang mempertemukan beragam agama dan keyakinan banyak menjadi rujukan, " tulis Abd Rahim Ghazali (hlm 73).

Dia berani menentang kebijakan yang mendiskreditkan golongan minoritas, sehingga hak-hak mereka sebagai warga negara dirampas. Perjuangannya ini memiliki risiko konfrontasi dengan pemerintah dan golongan mayoritas yang antipati terhadap kelompok yang tidak senafas dengan keyakinan mereka. Djohan memang tidak pernah menutupnutupi perjuangan ini walaupun harus menanggung risiko-risiko.

"Saya menentang semua bentuk diskriminasi dan ketidakadilan kapan pun, di mana pun, dan dalam hal apa pun. Dalam hal ini tidak ada kompromi," tegas Djohan, ini sebagaimana dikutip Ahmad Gaus (hlm 5).

Dia juga pembaru Islam seperti Gus Dur, Cak Nur, dan Ahmad Wahib. Tanpa pembaruan, sulit menyulut semangat toleransi dengan agama lain. Sebab dalam ajaran Islam konvensional, agama lain dianggap "keliru." Gagasan pembaruannya bukan mengubah ajaran Islam, tapi meluaskan batas-batas pemahaman dengan beragam wawasan, sehingga sudut pandang untuk memahami ajaran lain selalu terbuka.

"Sosok Djohan memang telah terbuka, dan itu sudah berakar pada dirinya sejak kecil. Ia gemar mempelajari berbagai hal. Selain mengaji Alquran, Djohan kecil juga keranjingan membaca biografi tokoh dunia. Ketekunan menyimak buku diwariskan ibunya, yang sekalipun pedagang kecil, getol membaca," tulis Gunoto.

Perjuangan hingga akhir hayat bukan demi jabatan atau uang. Sebagian aktivis sangat vokal menentang ketidakadilan, tapi begitu mendapat jabatan strategis, suaranya tidak terdengar lagi. Penganut Ahmadiyah tersebut tidak berubah walaupun sudah menjadi Menteri Sekretaris Negara. Dia tetap sederhana. Rumahnya masih selalu terbuka untuk anak-anak muda berpikiran maju. Dia pun tidak enggan naik bus ke kantor (hlm 158).

Arus semangat yang dihibahkan agar kehidupan lebih baik akan dikenang indah. Dia inspirasi abadi walaupun yang bersangkutan sudah tiada.

Diresensi Mohammad Arief Yusran, Mahasiswa Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta

Komentar

Komentar
()

Top