Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
GAGASAN

Reformasi Program Transmigrasi

Foto : KORAN JAKARTA/ONES
A   A   A   Pengaturan Font

Masalah penguasaan tanah menjadi polemik pascadebat Pilpres 2019 putaran kedua. Namun esensi pertanahan justru belum mengemuka, baik dalam debat maupun polemik tersebut.

Program pemerintah terkait pemeratan tanah bisa efektif jika melalui transmigrasi sesuai dengan kemajuan zaman. Pemerintahan hasil Pemilu 2019 mesti melaksanakan reformasi agraria sungguh-sungguh untuk menyejahterakan rakyat dan mewujudkan kedaulatan pangan nasional.

Kebijakan reformasi agraria yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015- 2019 belum berhasil karena sistem pendistribusian masih terkendala pengalihan lahan tidur yang dikuasai beberapa pihak.

Pendistribusian aset kepada petani melalui land reform dan program kepemilikan lahan memang perlu. Di sini juga perlu reinventing Keputusan Presiden No 169 Tahun 1963 yang menetapkan kelahiran Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960. Pemerintah mendatang perlu menumbuhkan nilai dan esensi UUPA 1960 demi pembangunan pertanian semesta untuk mewujudkan swasembada pangan.

Presiden Soekarno menetapkan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria (UUPA 1960). Cita-cita yang melandasi UUPA untuk menciptakan pemerataan struktur penguasaan tanah demi mengangkat martabat dan kesejahteraan kaum tani. Program land reform atau pembaruan agraria sebagai substansi UUPA 1960, oleh Bung Karno disebut satu bagian mutlak revolusi Indonesia.

Tanah dan petani adalah satu kesatuan dan satu jiwa. Selain mewujudkan pembaruan agraria berdasarkan semangat UUPA 1960, pemerintah juga wajib menyediakan infrastruktur yang baik untuk bertani seperti prasarana irigasi, mekanisasi, bibit, dan pupuk. Kebijakan pemeratan tanah untuk petani yang paling tepat lewat program transmigrasi.

Demi sukses reformasi agraria perlu langkah legalisasi aset tanah transmigran yang belum bersertifikat dan redistribusi aset melalui pelepasan kawasan hutan. Kabinet Kerja belum sepenuhnya merealisasikan program 144 kawasan baru transmigrasi yang direncanakan bisa menyerap sekitar 4 juta kepala keluarga (KK) dengan berbagai model penempatan dan pola usaha pertanian.

Istilah transmigrasi saat ini terdengar usang dan kurang berdaya tarik. Tak heran, banyak masyarakat lebih memilih menjadi buruh migran ketimbang mengikuti program transmigrasi. Maklum sebelum ini, transmigran penuh dengan balada kesengsaraan. Pemerintahan mendatang harus mampu mencerahkan persepsi rakyat tentang transmigrasi dan membangun Indonesia dari pinggiran.

Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) dan Transmigrasi harus mampu merumuskan strategi baru transmigrasi. Tujuannya, agar program tersebut bisa menemukan kembali arti pentingnya untuk kemajuan bangsa.

Jangan Terulang

Jangan terulang bahwa transmigrasi hanya memindahkan masyarakat miskin. Transmigrasi harus mendukung program reformasi agraria dan percepatan pembangunan wilayah perbatasan.

Program ini mesti menjadi garda terdepan dalam mewujudkan desa-desa mandiri lewat pembangunan dan pengembangan kawasan transmigrasi. Maka perlu pembenahan total pelaksanaan transmigrasi agar program ini bisa menjadi solusi mengatasi kemiskinan, ketimpangan demografi, kebutuhan pangan rakyat, dan lapangan kerja.

Rakyat beranggapan hingga kini belum terwujud tujuan esensial transmigrasi. Anggapannya, transmigrasi masih sebagai pemindahan kemiskinan dan keterbelakangan. Tujuan esensial transmigrasi memastikan keluarga mendapat tanah yang cukup luas dan subur dengan infrasruktur perairan baik serta ketersedian pasar bagi produk pertanian yang mereka hasilkan.

Tak bisa dimungkiri, minat masyarakat mengikuti transmigrasi semakin kecil. Rakyat lebih tertarik menjadi TKI di luar negeri. Pemerintahan ke depan mesti menggenjot tambahan peserta transmigrasi. Infrastruktur transmigrasi harus dibenahi sebab belum terintegrasi lintas sektoral, termasuk koordinasi antarkementerian. Selain itu, belum terjalin baik sisi konektivitas.

Padahal, Kabinet Kerja telah menggariskannya sebagai strategi untuk mewujudkan koridor ekonomi. Ini terjadi antara lain karena karena kekurangan SDM. Dari sisi geografi, transmigrasi adalah perpindahan penduduk secara sukarela untuk meningkatkan kesejahteraan dan menetap di Wilayah Pengembangan Transmigrasi (WPT) atau Lokasi Permukiman Transmigrasi (LPT).

WPT adalah wilayah potensial yang ditetapkan sebagai pengembangan permukiman transmigrasi. Tujuannya, mewujudkan pusat pertumbuhan wilayah baru sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Adapun LPT adalah lokasi potensial yang ditetapkan sebagai permukiman untuk mendukung pusat pertumbuhan wilayah yang sudah ada atau sedang berkembang sesuai dengan RTRW.

Program transmigrasi saat ini perlu strategi baru agar mampu mendukung agroindustri secara progresif. Selama 10 tahun terakhir, program transmigrasi seperti kehilangan arah. Infrastruktur yang telah dibangun tidak dimanfaatkan secara optimal. Maka, transmigrasi harus direvitalisasi yang mencakup diversifikasi pola usaha transmigran yang didukung mekanisasi pertanian.

Ini sebagai jawaban untuk mengatasi impor pangan. Mekanisasi juga menyangkut komoditas perkebunan dan peternakan. Perkembangan usaha perkebunan dan industri turunan sebaiknya dikaitkan dengan program nasional transmigrasi. Selain itu, juga untuk membenahi aspek ketenagakerjaan para transmigran di perkebunan dan agro industri.

Di masa mendatang mestinya bisa menyerap lebih banyak lagi tenaga kerja dengan sistem pengupahan yang layak. Dengan demikian, warga tidak lagi berbondong-bondong ke Malaysia atau negara lain sekadar untuk menjadi buruh kasar. Proyek infrastruktur industri hilir untuk produkproduk perkebunan seperti kelapa sawit sebaiknya digenjot agar semakin banyak menciptakan lapangan kerja.

Masih banyak birokrasi daerah yang belum memiliki visi perkebunan sehingga mengabaikan begitu saja pembangunan kawasan kluster agroindustri terpadu. Padahal ini menjadi langkah diversifikasi atau mempertinggi nilai tambah usaha perkebunan kelapa sawit, sehingga lahir UMKM di sekitar area perkebunan.

Usaha perkebunan secara nasional mampu menyediakan lapangan kerja langsung sekitar 25 juta setiap tahun. Jumlah tersebut berpotensi ditingkatkan jika pemerintah secara serius menghilangkan rintangan usaha perkebunan. Jadi, jelas bahwa penyelenggaraan transmigrasi perlu diperbarui dan disesuaikan dengan perubahan tata pemerintahan.

Jangan lagi bersifat sentralistik karena sudah era desentralisasi dan otonomi. Ini mengharuskan perubahan baik pada tataran kebijakan maupun implementasi. Koordinasi antareselon dan pusat-daerah harus semakin baik agar tidak lagi terjadi tumpang tindih program karena bisa membuat anggaran tidak efektif.

Endah Sulistyowati, Pekerja Sosial Kemasyarakatan

Komentar

Komentar
()

Top