Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Seren Taun Kuningan

Refleksi Pribadi Sunda yang Seimbang

Foto : foto-foto: koran jakarta/teguh rahardjo
A   A   A   Pengaturan Font

Mensyukuri nikmat Tuhan karena keberhasilan panen atau untuk memulai masa tanam di sejumlah kampung adat di Jawa Barat (Jabar) dilakukan dengan kegiatan khusus. Misalnya di Kabupaten Kuningan, tepatnya di Kampung Paseban Cigugur, ucapan rasa syukur dilakukan dengan menggelar berbagai kegiatan budaya dan rohani melalui upacara Seren Taun.

Seren Taun dipusatkan di Cagar Budaya Nasional Gedung Paseban, Cigugur, Kabupaten Kuningan, Senin (3/9) atau 22 Rayagung 1951 Saka dalam kalender Sunda. Selain disaksikan dan diikuti ratusan masyarakat setempat, hadir sejumlah pejabat penting seperti Pj. Gubernur Jabar Mochamad Iriawan, Kepala Staf Kepresidenan RI Moeldoko dan Bupati Kuningan Acep Purnama.

Seren Taun adalah upacara adat hasil panen berupa gabah/ padi yang dipersiapkan untuk dikonsumsi dengan cara tradisional, yakni ditumbuk pada lumpang dan dipukul atau ditumbuk dengan alu.

Proses penumbukan padi dimulai dengan kode ketukan alu sebanyak tujuh kali. Dilakukan pada lumpang atau lesung utama, yang dinamakan lesung indung oleh sesepuh adat. Setelah itu bergiliran masyarakat yang hadir dan sudah memegang alu mulai menumbuk pagi.

Saat ikut mencoba, kayu penumbuk atau alu dengan ketinggian sekitar dua meter lebih itu terasa lumayan berat. Perlu dua tangan untuk menggenggam batang alu. Lalu diangkat dan pukulkan ke gabah yang sudah terisi di lumpang. Serentak suara pukulan alu dengan lesung membahana di kampung adat tersebut, saling bersahutan sehingga ramai sekali.

Ada 50 lebih lesung yang dijejerkan pada sebuah tempat yang hanya ditutupi dengan atap agar proses penumbukan adem. Namun tetap saja, keringat mengucur karena penumbukan dilakukan tidak sekali dua kali, tapi berulang-ulang hingga kulit gabah terkelupas. Hitung-hitung olahraga.

Padi atau gabah yang ditumbuk untuk menjadi beras tidak semuanya dimiliki warga kampung. Harus disisakan untuk benih yang akan dipakai pada musim tanam berikutnya.

Lurah Cigugur Nono Darsono menyebutkan padi yang ditumbuk mencapai 20 kuintal sementara sebanyak dua kuintal disimpan di leuit atau lumbung padi sebagai benih.

Acara menumbuk padi memang tidak sekaligus menyelesaikan proses penumbukan hingga menjadi beras, karena ini hanya simbolis saja, dan akan diteruskan oleh warga hingga seluruh padi sempurna menjadi beras.

Proses Damar Sewu

Sebelum acara puncak, berbagai kegiatan budaya atau karnaval dan helaran berlangsung di kampung Cigugur tersebut. Mulai tari-tarian hingga musik tradisional.

Misalnya Tari Buyung, yang merupakan tarian khas masyarakat adat Cigugur dalam menghargai sumber air. Tari ini diciptakan ibu sepuh Emalia Djatikusumah yang merupakan istri dari sesepuh Cigugur Sunda Wiwitan Pangeran Djatikusumah. Tari ini merupakan persembahan kaum perempuan di mana para gadis menari lemah gemulai dengan membawa kendil atau buyung yang berisi air. Air diceritakan diambil dari sumber mata air yang akan digunakan untuk keperluan hidup warga kampung.

Lalu ada angklung buncis, yang dimainkan secara massal oleh 50 orang pemain berbusana tradisional. Tarian dibawakan dengan lincah menunjukan kegembiraan warga setempat dalam menyambut hasil panen. Berharap agar panen tahun berikutnya juga melimpah seperti tahun ini.

Helaran atau arak-arakan juga berlangsung sebelum acara puncak, sering disebut Ngajayak. Iring-iringan warga membawa berbagai hasil panen dari berbagai arah menuju ke lokasi puncak acara, Gedung Paseban. Semua berbaur, muda, tua, lelaki dan perempuan membawa tentengan hasil panen.

Sebelum semua acara dimulai, pembukaan acara dilakukan melalui prosesi Damar Sewu, yang berarti api seribu. Dimulai dengan menyalakan api di obor yang berbentuk bunga teratai yang kemudian api disebarkan ke obor-obor lainnya. Obor dipajang hingga mengarah ke Gedung Paseban. Obor dinyalakan setiap malam hingga akhir acara Seren Taun. Pada malam puncak pun dinyanyikan kidung-kidung setempat dari berbagai sesepuh, yang menujukkan keberagaman dan persatuan warga kampung tersebut. tgh/R-1

Wujud Hubungan Manusia dengan Alam

Seren Taun memiliki makna dan penuh arti. Di mana budaya untuk menyatakan wujud syukur masyarakat khususnya di Kuningan terhadap apa yang dicapai dalam satu tahun.

"Ini untuk mempererat hubungan antarmanusia dan makhluk sosial yang ada. Dilaksanakan setiap tahun dengan acara yang tidak pernah putus. Luar biasa. Terimakasih budaya Sunda terus diangkat di Kabupaten Kuningan yang kita cintai," ujar M Iriawan saat hadir diacara tersebut.

Seren Taun adalah refleksi dari sebuah kepribadian Sunda yang agung. Hal ini menjadi cermin eratnya hubungan manusia dengan alam. Ini refleksi pribadi Sunda yang agung, seimbang, dan menghargai alam.

Pada kesempatan ini, Iriawan juga meminta agar Seren Taun tidak hanya dijadikan acara seremonial saja. Kegiatan budaya ini bisa dipublikasikan lebih luas lagi agar menjadi destinasi wisata kelas dunia.

"Karena ini cukup menarik, tidak kalah dengan Bali. Kenapa Bali bisa kok Jawa Barat tidak bisa," tambahnya.

Dengan dijadikan sebagai objek wisata unggulan, Iriawan berharap Seren Taun bisa lebih membumi. Dapat menjadi agenda tahunan untuk dikunjungi dan selanjutnya mampu mendongkrak ekonomi masyarakat setempat. tgh/R-1

Komentar

Komentar
()

Top