Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis

Rapat Kerja Komisi 1 DPR RI dengan Panglima TNI bentuk nyata Politisasi TNI

Foto : Koran Jakarta/M. Fachri

Panglima TNI Laksamana Yudo Margono (tengah) mengikuti rapat kerja dengan komisi I DPR di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (2/2). Rapat kedja ini membahas dua poin agenda, yaitu penjelasan mengenai situasi dan kondisi keamanan terkini di Provinsi Papua dan pemenuhan kebutuhan alutsista TNI.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Komisi 1 DPR RI menggelar Rapat Kerja Perdana langsung dengan Panglima TNI Laksamana Yudo Margono beserta para kepala staf AU & AL dan jajarannya kecuali KASAD yang diwakili oleh Wakasad Letjend.Agus Subianto dengan agenda membahas kondisi "Papua dan Alusista TNI".

"Raker yang dilakukan Komisi 1 dengan Panglima TNI patut dipertanyakan karena tidak melibatkan Menteri Pertahanan yang memang sudah menjadi kewenangannya sebagai mitra kerja," kata Ketua IKRAR Ikatan Rakyat Aktifis Reformasi Yaser Hatim ditemui di Jakarta, Jumat (3/2).

Yaser mengatakan dalam hal ini hubungan kelembagaan dan ketatanegaraan Republik Indonesia untuk menyampaikan informasi.

"Serta perencanaan yang berkaitan dengan pertahanan negara dan TNI dari sisi kebijakan strategis dan perencanaan anggaran serta administrasi," ujar Yaser.

Menurut Yaser terlebih aroma tendensius yang mendiskreditkan KASAD karena berhalangan hadir dilontarkan Ketua Komisi 1 Mutia Hafis dan Dave Laksono Anggota Komisi 1 dari Fraksi Golkar yang seolah-olah menjadi atasan TNI.

"Mereka memposisikan KASAD sebagai anak buahnya dengan mengekspresikan sikap marah dan protes kepada panglima TNI karena KASAD berhalangan hadir," tutur Yaser.

Selain itu, kata Yaser, Akuntabilitas Politik dan Akuntabilitas Operasional DPR RI, Presiden, Menhan dan Panglima TNI, sudah sangat jelas posisi dan kedudukan Panglima TNI dibawah presiden dan dalam hal kebijakan strategis serta administrasi pemenuhan kebutuhan TNI panglima TNI berkordinasi dengan Kementerian Pertahanan.

"Hubungan DPR terhadap TNI tidak secara langsung vertikal atasan - bawahan atau horizontal eksekutif - legislatif, namun harus melalui presiden sebagai panglima tertinggi atau melalui Kemenhan sebagai mitra kerja," jelas Yaser.

Menurut Yaser, selain meminta pertanggungjawaban kinerja Kemenhan secara keseluruhan atau berdasarkan permintaan (akuntabilitas politik).

"Pengawasan anggaran atau akuntabilitas operasi dilakukan oleh lembaga negara yang memiliki kewenangan dalam hal ini Badan Pemeriksa Keuangan yang secara periodik melakukan pemeriksaan penggunaan APBN," ungkapnya.

Diakui Yaser, pihaknya menolak Politisasi TNI oleh Komisi 1 DPR RI dalam Bentuk Rapat Kerja Langsung Dengan Panglima TNI.

Praktik nyata dalam politisasi TNI sudah sangat terasa karena ambiguitas pemaknaan kata "persetujuan oleh DPR" dalam pasal 13 ayat (1) dan (2) UU no.34 tentang TNI yang menyatakan pengangkatan dan pemberhentian panglima harus mendapatkan persetujuan DPR.

"Dari sinilah posisi Panglima TNI menjadi jabatan politis karena harus melalui fit & propertes serta mekanisme lainnya di Komisi 1 DPR RI. Sehingga saat ini seolah2 Komisi 1 DPR RI sebagai atasan Panglima TNI dan melemahkan posisi Panglima TNI dihadapan Komisi 1 DPR RI," ucap Yaser.

Yaser menambahkan dengan demikian Menhan seharusnya mengirimkan nota keberatan atau protes atas RDP yang dilakukan Komisi 1 DPR RI dengan Panglima TNI serta jajarannya, dan sudah sepatutnya Presiden sebagai panglima tertinggi menegur Panglima TNI yang menyimpang dari regulasi dan keliru dalam memahami hubungan sistem ketatanegaraan RI.

Sementara itu, Koordinator Wilayah Jakarta Raya Badan Eksekutif Mahasiswa-Indonesia Fajar Habibi mengatakan Komisi 1 DPR RI overlapping, Panglima TNI overacting. Rapat Kerja Komisi 1 yang langsung melibatkan Panglima TNI beserta jajarannya merupakan salah kaprah dan menyimpang dari UU 34 tahun 2004.

"Seharusnya Komisi 1 DPR RI mengundang Kemenhan/Menteri Pertahanan sebagai mitra kerja dan otoritas sipil yang menjembatani TNI dalam hal kebijakan strategis dan pemenuhan kebutuhan anggaran," kata Fajar.

Menurut Fajar, kondisi ini yang perlu diluruskan dan seharusnya sudah dipahami komisi 1 yang tidak bisa serta Merta meminta Panglima TNI untuk memenuhi undangannya apalagi sampai ada protes karena salah satu Kepala Staf berhalangan hadir.

"Disamping itu Panglima TNI Laksamana Yudo Margono juga sudah keliru membawa jajarannya kehadapan Komisi 1 DPR RI tanpa berkordinasi dengan Kemenhan sebagai otoritas sipil yang bertanggung jawab terhadap akuntabilitas politik dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia," ucap Fajar.

Dikatakan Fajar, pihaknya menilai Komisi 1 DPR RI Bukan atasan Panglima TNI, Sudah sangat jelas dalam legal formal UU No.34 tahun 2004 kedudukan TNI/Panglima dibawah Presiden sebagai panglima tertinggi (a supremme commander) dan dibantu Menhan secara administratif dalam pemenuhan kebutuhan TNI dan akuntabilitas politiknya.

"Sehingga apa yang dilakukan Komisi 1 DPR RI dan Panglima TNI sekonyong - konyong melakukan pertemuan/rapat merupakan bentuk pembangkangan terhadap regulasi dan presiden / menhan sebagai atasan Panglima TNI," pungkasnya.


Redaktur : M. Fachri
Penulis : M. Fachri

Komentar

Komentar
()

Top