Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Radikalisme dan Fanatisme Politik

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Oleh Nurudin

Suhu politik Tanah Air kembali hangat, bahkan cenderung memanas menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2018 dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Berbagai upaya untuk menyambut sudah mulai di sana sini, meskipun belum secara resmi kampanye dimulai. Kandidat dan tim pendukung juga sudah pasang "kuda-kuda," meski pertarungan masih lama. Penonton pendukung calon tak kalah riuh, bahkan terkesan norak.

Mereka yang berposisi sebagai incumbent cenderung mempertahankan kekuasaan dengan segala daya guna. Sementara itu, kelompok yang mau merebut kekuasaan juga tak kalah agresif dengan menyerang program-program yang minus. Semua sudah ancang-ancang.

Muncul kesan, seolah urusan mengelola pemerintahan hanya berfokus pada usaha mempertahankan dan merebut kekuasaan, sedangkan amanat agar pemerintahan memberi arah bagi kesejahtaraan masyarakat pun ibarat jauh panggang dari api. Pemerintah merasa dirongrong terus sehingga tidak konsentrasi pada program. Kelompok yang melawan berusaha merongrongnya. Suhu panas dalam politik pun mulai berhembus.

Suhu panas memunculkan gerakan-gerakan yang tak jarang ke arah destruktif, hanya untuk memenangkan pertarungan. Apakah sudah sedemikian "picik" masyarakat seolah enerjinya hanya dihabiskan untuk urusan politik? Pertentangan dampak Pilpres 2014 belum usai, sekarang akan memasuki pilkada dan pilpres kembali.

Menjelang hiruk-pikuk politik, diingatkan kembali pada istilah atau gerakan radikalisme dan fanatisme politik. Dua kata itu seringkali ditukar-tukarkan, bahkan digunakan serampangan untuk menyerang. Padahal keduanya mempunyai dasar pijakan dan penggunaan yang berbeda. Tak aneh dua kata itu selalu diasosiasikan secara peyoratif (pemburukan makna) yang terus dipertahankan sesuai kepentingan.

Orang fanatik belum tentu radikal. Tetapi, orang radikal sangat mungkin fanatik. Konsisten pada keyakinan bisa menjadikan orang fanatik. Jangan sampai terjadi fanatik buta, sehingga menegasikan paham/keyakinan lain. Fanatisme cenderung menjadi negatif kalau disertai tindakan radikal. Radikal bisa juga berkonotasi negatif, bahkan bisa dianggap setingkat di bawah teroris.

Orang radikal sangat susah menjadi moderat karena keyakinannya yang berlebihan. Sementara itu, orang fanatik bisa menjadi moderat, bahkan agak liberal. Kaum liberal sekelompok orang yang meyakini pendapatnya secara konsisten atas kepercayaannya. Hanya di sini ada liberal yang meyakini ajaran agama secara benar dan menganggap perbedaan sebagai hal yang jamak. Radikalisme biasanya tidak pernah mengakomodasi kelompok moderat, apalagi liberal.

Radikalisme dan fanatisme yang selama ini dipakai untuk mengamati fenomena perilaku keagamaan juga bisa dipakai untuk mengamati perilaku politik. Seandainya politik berkaitan dengan kekuasaan, bisa diartikan tujuan utamanya mempertahankan atau merebut kekuasaan. Orang-orang sangat bernafsu bertahan atau merebut kekuasaan karena meyakini bahwa dengan berkuasa akan bisa mewujudkan cita-cita, ambisi, dan kepentingan kelompoknya.

Kalaupun diklaim sebagai kepentingan rakyat, itu sekadar bungkus sebagai jalan untuk meraih kekuasaan politik. Selamanya, politik akan berkaitan dengan kepentingan diri dan kelompok, vis avis kepentingan rakyat.

Berbahaya

Radikalisme politik tentu saja berbahaya bagi kehidupan demokratis karena mau menang sendiri. Gejalanya hanya berorientasi pada tujuan. Jika politik itu mempertahankan dan merebut kekuasan, apa pun akan dilakukan untuk memenangkan kompetisi politik tersebut. Radikalisme selama ini sering hanya dilekatkan pada kelompok masyarakat yang dengan segala cara merebut kekuasan. Namun demikian, radikalisme juga melekat pada pemerintah dan pemegang kekuasaan. Bahkan radikalisme politik yang dipraktikkan pemerintah lebih berbahaya karena punya alat dan daya paksa berupa hukum tertulis.

Mengapa selama ini radikalisme sering melekat pada rakyat atau kelompok oposisi? Karena tak jarang sistem pemerintahan yang berjalan dalam kurun waktu lama cenderung melanggengkan kekuasaan untuk kepentingan penguasa. Maka, munculnya radikalisme politik di tengah masyarakat. Kadang ini akibat dari tindakan pemerintah. Jika pemerintah berjalan dengan baik dan berada dalam hukum yang jelas, radikalisme politik di masyarakat sangat kecil. Bagaimanapun juga, radikalisme politik sangat berbahaya bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Radikalisme politik bertolak belakang dengan hak asasi dan kehidupan demokratis. Gerakan radikalisme politik cenderung melenyapkan pihak lain yang berbeda aspirasi, apalagi berlindung di balik kekuasaan politik. Kehidupan demokratis hanya bisa jalan jika ada saling menghormati perbedaan dan tak ada usaha saling melenyapkan. Semua tentu harus dilakukan dengan kompetisi sehat sesuai hukum.

Gejala radikalisme politik sangat mungkin muncul menjelang saat dan pascapemilihan. Jika tidak bisa diatasi, bisa berakibat buruk. Berbagai perubahan ke arah kemajuan akan tetap terhambat karena politisi disibukkan merebut dan mempertahankan kekuasaan. Kalau sudah begini, kepentingan rakyat dikorbankan.

Semua pihak harus bisa menahan diri, termasuk pemerintah. Ia harus fokus pada koridor hukum, apa pun kritik masyarakat. Segala sikap dan perilaku jangan sampai memancing gerakan radikalis. Jika tidak, berbagai kebijakan akan terus dirongrong. Menahan diri adalah usaha sederhana untuk melawan tumbuhnya radikalisme politik. Maka, memupuk fanatisme politik boleh, tetapi mengarah pada radikalisme, jangan.

Penulis Dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Malang

Komentar

Komentar
()

Top