Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2024 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Kamis, 09 Nov 2017, 01:00 WIB

Putuskan Rantai Perundungan di Ranah Publik

Foto: istimewa

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebut adanya peningkatan kasus bullying (perundungan) di kalangan pelajar Indonesia terlihat dari angka pelaku bullying yang terus bertambah.

Menurut data KPAI, sejak 2011 hingga 2016, KPAI telah menemukan sekitar 253 kasus yang terdiri dari 122 anak yang menjadi korban dan 131 anak menjadi pelaku. Data ini tidak jauh berbeda seperti yang diungkapkan Kementerian Sosial (Kemensos). Hingga Juni 2017, Kemensos telah menerima laporan 976 kasus, di mana 117 kasus adalah terkait perundungan. Namun dari data ini muncul kekhawatiran lainnya, yaitu jumlah kasus lain yang tidak dilaporkan.

Maka dari itu, YUPI sebagai produsen permen gummy di Indonesia mendirikan kampanye bernama Let's Speak Up. Kampanye ini memiliki tujuan untuk memutuskan rantai perundungan yang ada di Indonesia. Dengan mengajak anak muda menyebarkan sikap positif, YUPI melakukan kampanye school to school sembari memutarkan video edukasi bagaimana menanggapi perbuatan yang tidak menyenangkan. Selain itu Let's Speak Up juga berharap agar anak muda bisa terbuka, berani berbicara jika ia mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan.

"Melakukan sesuatu yang positif bagus untuk ke depannya. Karena kami ingin anak muda yang berpikiran positif nantinya bisa menginspirasi masyarakat," ungkap Anna Lumintang, Marketing Manager PT Yupi Indo Jelly Gum di acara Media Gathering YUPI Let's Speak Up di Jakarta, Kamis (2/11).

Dan dalam membiasakan anak pada hal positif itu harus dimulai dari dukungan pola asuh yang baik dari orang tua di lingkungan keluarga, dan para guru di sekolah mengingat kasus bully banyak terjadi di lingkungan sekolah.

Tidak hanya itu, kampanye yang sudah digelar sejak September juga menyelenggarakan YUPI Got Talent, sebuah kegiatan unjuk bakat yang menjadi wadah para remaja untuk berekspresi, tampil percaya diri, serta menunjukkan bakat mereka.

"Kami yakin acara ini juga dapat menjadi media untuk para remaja dalam menyerukan penolakan terhadap bullying, serta tempat untuk menyalurkan rasa percaya diri dan optimisme dalam menyingkapi hal-hal yang ada di sekitar mereka. Kita mengajak para remaja untuk memahami konsep 'berkompetisi secara positif'," jelas Anna.

Edukasi secara Dini

Yang ditakuti atau bahkan tidak disadari orang tua adalah jika anak menjadi korban bullying. Menurut Yasinta Indrianti, psikolog dari EduPsycho Research Institute, yang dikategorikan sebagai tindakan bullying adalah dampak dari perbuatan tersebut. Jika si korban merasa terluka secara fisik atau emosional maka hal tersebut bisa dikatakan bullying meskipun hal tersebut bisa jadi tidak sengaja.

Yasinta membeberkan cara mengatasi bila anak menjadi korban bullying. Yang utama adalah ajari anak untuk bisa menerima kondisi yang dihadapinya. Bantu anak untuk terus berpikir positif dan gali bakat anak. Dengan begitu anak bisa fokus mengembangkan apa yang bisa ia lakukan tanpa memperdulikan bully-an dari orang-orang di sekitarnya.

"Ubah bully menjadi sesuatu yang menyenangkan. Meskipun hal itu tentunya tidak mudah dan butuh proses," katanya.

Namun bullying tidak hanya berdampak pada korbannya saja, tetapi juga ke pelaku. "Jika kita melakukan kesalahan pasti ada perasaan bersalah. Saat besar nanti, bisa jadi si pelaku bullying ini jadi merasa bersalah karena pernah jadi pem-bully," jelasnya.

Meskipun begitu, tidak menutup kemungkinan si pelaku bullying bisa terus berkelanjutan hingga ia dewasa. Karena ia terus berpikiran bahwa perilaku yang ia lakukan adalah sesuatu yang benar.

"Jadi itu prinsipnya. Dia jadi punya prinsip yang buat dia senang dengan mem-bully tapi tidak menyenangkan bagi orang lain itu gak apa-apa," ungkapnya.

Efek dari bullying itu beragam. Mulai dari selalu merasa sedih, depresi, ketakutan, dan tidak berani berbicara pada orang lain. Beruntungnya, aksi bullying di Indonesia masih terbilang 'lebih baik' ketimbang di negara lain. Di negara-negara lain, aksi tersebut terbilang terlewat batas dikarenakan banyaknya korban bullying yang lebih memilih untuk mengakhiri hidupnya.

"Maka dari itu, mumpung bullying di Indonesia belum terlalu parah, kita harus edukasi agar jangan sampai seperti itu dan jangan ada bullying lagi," kata Yasinta.gma/R-1

Ubah Paradigma Pola Asuh

Bullying merupakan topik yang hangat diperbincangkan sehingga menjadi latar belakang acara media gathering YUPI Let's Speak Up. Bullying adalah perilaku tidak menyenangkan yang dilakukan atau diterima orang lain.

Menurut Yasinta, bullying terjadi di masa-masa anak mencari jati diri. Adanya rasa berkompetisi yang ingin menunjukkan ke eksistensian seseorang merupakan salah satunya.

"Jadi banyak remaja yang belum menemukan kondisi emosional yang tepat," ujarnya. Dan lagi, remaja merasa kegiatan berkelompok seperti memiliki sebuah geng lebih penting. "Perilaku ini muncul karena faktor keluarga. Pola asuh orang tua membuat mereka tidak bisa mengomunikasikan diri," jelasnya.

Dengan banyaknya kondisi perubahan diri anak menjadi remaja, membuat mereka tidak nyaman dengan perubahan tersebut. Dan ketika komunikasi dengan orang tua tidak terjalin dengan baik, teman sebayalah yang dianggap satu-satunya bisa membuat mereka lebih nyaman.

Selain itu, lingkungan juga memiliki peran penting. Kalau lingkungan memberikan contoh negatif, maka aksi bullying bisa semakin menjadi-jadi. "Karena kebanyakan aksi bullying itu didiemin atau malah disorakin," katanya.

Maka dari itu, perlu adanya kerja sama yang baik antara orang tua dan pihak sekolah mengenai masalah bullying ini. Misalnya, jika di rumah anak sudah diproteksi sedemikian rupa namun di sekolah adalah di luar jangkauan orang tua, maka hal tersebut sama saja. "Makanya harus ada gerakan sosial kebijakan baru yang semuanya gerak bareng," seru Yasinta. Kalau sebagai masyarakat hal itu dibiarkan saja, maka hal tersebut akan terus terjadi.

Yasinta menyebut bahwa orang tua perlu mengubah paradigma tentang pola asuh anak dikarenakan zaman yang sudah berubah. Di zaman millenial ini, balita bahkan sudah memegang dan bermain gadget. Jadi seringkali orang tua mau tak mau harus menunjukkan otoritas mereka. Namun kepercayaan adalah kuncinya. Anak perlu merasa percaya kepada orang tuanya sehingga dia merasa komunikatif dan jika terjadi masalah, yang pertama kali ia datangi adalah orang tuanya. "Sebagai orang tua ada baiknya jika kita juga menjadi teman anak, karena dengan begitu kita bisa mengenal lebih anak," pungkasnya. gma/R-1

Penulis:

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.