Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Polemik Pencalegan

Putusan Bawaslu soal OSO Melampaui Batas

Foto : ISTIMEWA

Direkur Eksekutif PERLUDEM, Titi Anggraini.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Komisi Pemilihan Umum dapat tidak melaksanakan putusan adminisitrasi Bawaslu terkait pencalonan Ketua Umum Hanura Oesman Sapta Odang yang diduga putusan Bawaslu tersebut melampaui wewenang UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan juga putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pencalonan DPD.

Hal itu disampaikan pakar HTN dari PUSKAPSI, Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono menilai, putusan Bawaslu No. 008/LP/PL/ADM/RI/00.00/ XII/2018 yang salah satu putusannya memerintahkan kepada KPU untuk tidak menetapkan OSO pada Pemilu 2019 apabila tidak mengundurkan diri sebagai pengurus parpol paling lambat satu hari sebelum penetapan calon terpilih anggota DPD, melanggar Pasal 461 ayat 6 UU Pemilu.

Padahal syarat keterpilihan caleg ungkap Bayu ada di Pasal 423 dan 426 UU Pemilu. Atas dasar itulah, Bayu menilai Bawaslu dalam memutus perkara administrasi tentang OSO melampaui wewenang MK karena membuat tafsir baru tentang syarat calon yang tidak diatur dalam aturan yang ada.

Sementara itu KPU menunda pernyataan sikap resminya atas putusan Bawaslu tersebut. Semula KPU sudah mengagendakan pada Senin kemarin akan memberikan keterangan pers mengenai sikap atas putusan Bawaslu, tetapi ditunda hari Selasa ini.

Lebih lanjut Bayu Dwi mengatakan, putusan Bawaslu tersebut kata Bayu, terasa inkonsistensi dengan putusan Bawaslu sebelumnya dengan kasus yang serupa. Dimana saat itu Bawasluy berpegang teguh pada putusan MK, namun diputusan Bawaslu yang terbaru, seakan mengamini argumeb putusan MK berlaku retroaktif.

"Ini jelas Bawaslu melampaui batas karena berani menafsirkan sendiri aturan yang ada," kata Bayu dalam sebuah diskusi di Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Jakarta, Senin (14/1).

Kemudian Bayu menjelaskan, putusan Bawaslu yang memerintahkan KPU memasukkan OSO ke dalam DCT tersebut bagaikan bom waktu yang suatu hari akan menimbulkan masalah-masalah baru dalam praktiknya. Perlu dipahami, meskipun terdengar sederhana, ada hambatan terkait dengan teknis dan substansi pemilu jika dipraktikan.

"Bagaimana KPU dipaksa melaksanakan putusan yang cacat hukum. Penyelenggara seharusnya bekerja berdasarkan supremasi konstitusi," tegasnya.

Hal senada disampaikan Direkur Eksekutif PERLUDEM, Titi Anggraini menyebutkan, bila KPU melaksanakan putusan Bawaslu akan merusak tatanan demokrasi dan menimbulkan ketidakadilan bagi calon anggota DPD lainnya mengingat sebelumya telah banyak pengurus parpol mengundurkan diri ketika maju sebagai caleg DPD dalam Pemilu 2019.

Atash al tersebut, Titi menganjurkan kepada KPU agar menindaklanjuti putusan Bawaslu dengan meminta OSO menandatangani pernyataan untuk bersedia mundur sebagai fungsionaris parpol sebelum KPU mencetak surat suara pemilu.

Di tempat terpisah, Muhammad Hafidzh yang pernah menguji Pasal 182 UU Pemilu terkait frasa "Pekerjaan Lain" di MK beberapa saat lalu, melaporkan seluruh Komisioner Bawaslu ke DKPP, karena menganggap putusan Bawaslu yang memerintahkan KPU memasukkan OSO ke dalam DCT tidak memiliki kepastian hukum. rag/AR-3

Komentar

Komentar
()

Top