Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Prioritas Proses "Holding" BUMN

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

oleh deasy walda sinaga

Masih teringat jelas saat debat terakhir capres dan cawapres Mei silam. Kubu Petahana, Presiden Joko Widodo, menyampaikan sebuah gagasan yang sebenarnya sudah lahir di era 90-an tentang restukturisasi BUMN sebagai holding entity. Langkah ini sebagai upaya mengoptimalkan peran BUMN.

Jika dilihat ke belakang, sudah 24 tahun berjalan sejak Indonesia pertama kali melakukan proses holding terhadap BUMN Semen tahun 1995. Kini tercatat ada 16 rencana holding BUMN atau State-owned enterprise holding company (SOEHC) yang digaungkan Kementerian BUMN. Hasilnya akan menjadi punggawa pembangunan.

BUMN kerap dianggap sebagai suatu entitas yang tidak efisien dan kompetitif. Namun dalam praktiknya, pemerintah sudah melakukan berbagai bentuk reorganisasi guna meminimalkan permasalahan klasik BUMN terkait good governance maupun financial performance.

Dinamika pembangunan dan politik jugalah yang membuat privatisasi kurang dipilih sebagai cara "menyembuhkan" BUMN dan mencanangkan SOEHC sebagai jalan keluar. Kini, upaya baik tersebut menghadapi tantangan baru, yakni pengeksekusian konsep yang sampai kini masih terbilang jauh dibanding rencana ambisius pemerintah. Selain itu, juga belum ada skala prioritas.

Langkah membentuk SOEHC juga semakin mantap diambil pemerintah mengingat Malaysia dan Singapura sukses menjadikan Khazanah (10 anggota SOEHC) dan Temasek (13 anggota SOEHC) sebagai super entity yang mendongkrak perekonomian negara.

Namun, perjalanan suskes Singapura juga memakan waktu lama dimulai tahun 1974 dan tahun 1993 untuk Khazanah. Menariknya, Indonesia memiliki rencana yang cukup kompleks mengingat jumlah yang cukup besar. Ada 16 sektor SOEHC yang juga terdiri dari perusahaan-perusahaan aktif dan memiliki karyawan banyak.

Melihat pelaksanaan proses holding yang dilakukan secara bersamaan, ekspos berbagai pemberitaan pun berargumen bahwa tiap SOEHC adalah sektor paling urgen untuk digarap. Ada lebih dari lima sektor. Mereka adalah sektor infrastukrur, pebankan dan keuangan, sarana dan prasarana penerbangan, dan pertambangan.

Selain itu, ada sektor perumahan dan pangan yang marak diberitakan sebagai prioritas proses holding. Kemudian, sektor farmasi, transportasi laut, dan asuransi. Alat berat dan perkapalan dikabarkan akan menjadi gelombang susulan untuk proses pembentukan SOEHC.

Kementerian BUMN sendiri menargetkan proses holding dari keenam sektor SOEHC tersebut untuk dapat selesai pada semester 1 tahun ini. Tapi sampai sekarang belum terlihat realisasinya. Belum adanya pemisahan lini masa yang jelas dari sektor-sektor SOEHC tersebut juga mengindikasikan proses holding yang diasumsikan terintegrasi. Faktanya, tiap BUMN yang menjadi kandidat anggota sektor juga masih berkonsolidasi internal. Ini baik dari sisi operasional maupun organisasional yang membutuhkan waktu.

Pendekatan

Pro-kontra dalam organisasi internal BUMN pun tentu memerlukan strategi dan pendekatan berbeda, misalnya antara manajemen dan serikat pekerja di beberapa BUMN dengan skala berbeda-beda.

Dinamika tersebut tentu saja harus terantisipasi, mengingat setiap sektor SOEHC beranggotakan entitas hukum yang memili pola bisnis masing-masing. Jika ditelaah menggunakan konsep bottom up, tidak mengherankan anggota SOEHC-sebagai pihak yang diharapkan pemerintah menjadi agen utama pembangunan- berharap mendapat panduan jelas dalam proses integrasi atau pembentukan SOEHC.

Melihat banyaknya jumlah sektor SOEHC, ke depan, tanpa regulasi jelas, potensial terjadi konflik akibat perbedaan strategi antaranggota SOEHC. Upaya pemerintah agar proses holding berjalan tepat waktu juga terlihat dari berbagai pemberitaan tentang proses valuasi aset yang dilakukan berbagai BUMN calon anggota SOEHC.

Suatu proses yang tidak boleh dilakukan main-main tersebut juga harus dilakukan sembari dengan kegiatan bisnis BUMN yang juga disesuaikan dengan target pembangunan yang signifikan. Bahkan sedang dalam proses percepatan yang ditetapkan pemerintah.

Menilik rencana pembangunan nasional, terlihat niat pemerintah untuk menggenjot infrastuktur dan memeratakan kesejahteraan. Kenaikan kinerja BUMN dari kacamata pemerintah juga berarti semakin kecilnya gap antara target dan realisasi pembangunan.

Dari sini, urgensi pembentukan SOEHC sebenarnya berkiblat pada tujuan pemerataan pembangunan. Sementara itu, proses holding BUMN sendiri, khususnya di Indonesia, suatu upaya profesionalisasi organisasi. Ini sama seriusnya dengan agenda pembangunan.

Pemerintah ingin "menjauhkan" BUMN dari intervensi politik dinilai baik. Tak jarang terjadi kasus penunjukan direksi-direksi perusahaan berujung pada praktik clientelism atau patronase politik semata, tanpa ada peningkatan pencapaian perusahaan.

Dalam proses pembentukan Holding BUMN, Komisi Pengawas Persaingan Usaha pun mengingatkan potensi kemunculan patronase pemerintah terhadap entitas holding. Skalanya akan lebih besar dibanding kondisi saat ini dan berujung pada praktik monopoli.

Dengan demikian, jika ingin belajar dari pembentukan Temasek dan Khasanah, dukungan penuh dari seluruh elemen pemerintah sangatlah penting. Hal ini mengingat sekarang hanya presidenlah yang berhak mengintervensi langsung kegiatan bisnis entitas super di kedua negara tersebut.

Berkaca pada gagasan utama pembentukan SOEHC yang muncul pascakrisis moneter akhir 90-an, sampai kini tetap bertujuan utama mencegah terbentuknya BUMN yang inefisien dan tidak berdaya saing melalui peningkatan profesionalitas. Terbentuknya BUMN yang kuat dan terhindar dari duplikasi permodalan pemerintah. Kemudian, menjadikan BUMN lebih independen, bersinergi antar-BUMN dan jauh dari kepentingan politik.

Menghindari potensi negative externalities yang timbul dari BUMN sebagai lembaga yang luput patronase politik, maka tujuan "pemulihan" BUMN yang telah ditetapkan tersebut hendaklah tetap mengacu pada skala prioritas. Tujuannya, agar sektor-sektor SOEHC yang telah direncanakan terealisasi.

Di sini perlu pemisahan antara holding yang memerlukan perbaikian dari skala profesionalitas dan yang bertujuan ekspansi pasar. Pemisahan tersebut diperlukan agar ada skala prioritas yang dapat membantu pemerintah menetapkan target pembentukan State-owned enterprise holding company.

Menyamaratakan kebutuhan dan kesiapan tiap sektor SOEHC membuat proses holding cenderung lebih lambat. Prioritas penanganan SOECH dalam sektor-sektor yang telah dikelompokkan berdasarkan dua tujuan tersebut akan membantu mengeliminasi intervensi politik. Hal ini khususnya karena pro kontra operasional pascaberoperasinya SOEHC.

Prioritas tersebut akan menjadi suatu identifikasi yang dapat menjadi acuan sebelum dilakukan "penyembuhan" BUMN. Hal ini terlepas dari bentuk SOEHC serta menjadikan perjalanan holding BUMN lebih efisien dan tepat sasaran. Alumnus S2 Emerging Economies & International Develpoment, King's College London

Komentar

Komentar
()

Top