Posisi Tawar Petani Selalu Rendah
Foto: istimewaJAKARTA - Perlindungan terhadap nasib petani sampai saat ini dinilai masih minim. Pemerintah dipandang lebih banyak melindungi konsumen, sementara nasib petani kurang diperhatikan. Efeknya, jutaan nasib petani tergolong miskin dan rentan miskin.
Peneliti Ekonomi Indef, Rusli Abdullah, menuturkan pemerintah memang mengeklaim telah menyalurkan pupuk subsidi ke petani, tetapi sebenarnya itu hanyalah salah satu komponen dalam produksi. Menurutnya, masih ada komponen lain yang harus ditanggung petani yang nilainya justru lebih besar, seperti biaya sewa lahan, biaya tenaga kerja, dan sebagainya.
"HET (harga eceran tertinggi) misalnya, hanya melindungi konsumen, tetapi petani dibiarkan loss (merugi,red). Buktinya adanya margin yang besar oleh pedagang beras, justru petani hanya menerima harga stagnan. Jadi, petani tidak bisa menikmati fluktuasi harga yang terjadi di pasar. Hal ini disebabkan oleh rantai logistik yang panjang," tegasnya dalam diskusi virtual, di Jakarta, Kamis (26/8).
Dia menambahkan posisi, tawar petani, memang lemah dan sudah puluhan tahun terjadi di Indonesia. Sampai saat ini, lanjutnya, tidak ada penyelesaian faktual yang benar-benar menggenjot daya tawar petani dan skala ekonomi petani kecil.
Dia mengakui pemerintah sebenarnya sudah mengarah ke sana dengan membuat kelompok petani. Namun, untuk mencapai itu, kelompok tani harus memiliki hamparan lahan dalam satu hamparan. Faktanya, lahan kelompok petani terpencar-pencar. Secara mekanisme skala produksi ini tidak efisien.
Selain itu, HET, terangnya, dibutuhkan hanya mengatur beras medium karena bersentuhan banyak dengan masyarakat kelas menengah ke bawah. "Kalau orang kaya tidak masalah karena banyak uang, kalaupun harga naik dan turun mereka tidak jadi masalah. Bersamaan dengan itu, petani harus mendapatkan harga yang fair, tapi bagaimana rantai distribusi harus di-cut (dipotong), termasuk tengkulak. Jika perlu, petani harus dikasih jalan untuk akses langsung konsumen," tegasnya.
Seperti diketahui, mahalnya biaya produksi beras RI membuat disparitas di middle market di rantai distribusi beras nasional. Efeknya, harga beras Indonesia cenderung lebih tinggi dengan gap sangat lebar dibandingkan harga produsen beras dari negara Thailand dan Vietnam.
Mengatasi itu, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 24 Tahun 2020 tentang Penetapan Harga Pembelian untuk Gabah atau Beras. Atas perubahan Permendag 57/2017 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi/HET Beras.
Butuh Subsidi
Ekonom Senior Universitas Indonesia (UI), Faisal Basri, menilai pemerintah tidak melakukan perannya sendiri dan tidak mau keluar ongkos untuk stabilisasi harga. Bahkan, tidak ada sedikit pun pemerintah menyubsidi untuk stabilisasi harga yang seharusnya ada ongkosnya melalui APBN.
Terkait peran Bulog, dia menegaskan bagaimanapun Bulog adalah entitas bisnis walaupun bukan perusahaan terbatas, hanya Perum (perusahaan umum). Padahal, kata dia, stabilisasi harga adalah misi ekonomi dan sosial, tapi Bulog untuk pengadaan beras menggunakan pinjaman komersial.
"Pemerintah menginginkan harga tidak naik agar inflasi tidak melonjak. Jika kaidah-kaidah rasional ditinggalkan maka pasar akan bereaksi negatif yaitu mendistorsi," ujarnya.
Selama ini, lanjutnya, peran Bulog hanya ke hulu. Seharusnya Bulog diperankan masuk ke hilir untuk mengimbangi agar Bulog tidak rugi dan seharusnya persoalan ini diperhitungkan juga oleh pemerintah.
Redaktur: Muchamad Ismail
Penulis: Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Ini Gagasan dari 4 Paslon Pilkada Jabar untuk Memperkuat Toleransi Beragama
- 2 Kasad: Tingkatkan Kualitas Hidup Warga Papua Melalui Air Bersih dan Energi Ramah Lingkungan
- 3 Irwan Hidayat : Sumpah Dokter Jadi Inspirasi Kembangkan Sido Muncul
- 4 Trump Menang, Penanganan Krisis Iklim Tetap Lanjut
- 5 Tak Tinggal Diam, Khofifah Canangkan Platform Digital untuk Selamatkan Pedagang Grosir dan Pasar Tradisional