Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Politik yang Membutakan

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

oleh Benny Susetyo

Politik dan kekuasaan berkecenderungan membutakan. Untuk meraih tujuan berkuasa, kadang cara apa pun akan ditempuh, walaupun harus menegasikan nilai-nilai moral serta agama. Kalau perlu, nilai-nilai agama pun dipolitisasi untuk meraih (dukungan) kekuasaan, sekalipun ini justru merupakan bentuk nyata sebuah pengingkaran atasnya.

Tidak lagi dipedulikan dampaknya bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Ayat-ayat pun "diperdagangkan" untuk tujuan simplifikatif. Demi legalnya sebuah tindakan, agama kerap dijadikan landasan secara tidak semestinya.

Opini buruk diciptakan secara sengaja melalui beritaberita palsu untuk memperdayai dan menipu. Bukan karena pembuat berita tidak mengetahui akan kepalsuan itu, tetapi kepalsuan itulah yang menjadi berita bisa bernilai. Bernilai secara politis, mampu menipu rakyat, mampu mendoktrin dan mengubah ke sebuah pandangan tertentu.

Seperti terdengar memekakkan sebuah sorak-sorai kegembiraan bila berita palsu sudah mulai dianggap kebenaran baru. Kegembiraan dan tawa kepongahan diperlihatkan bila sudah berhasil membabat, membunuh, membumihanguskan lawan.

Inilah dunia baru politik kita yang sungguh mengerikan. Ruang publik wacana justru lebih banyak dikuasai para pembuat berita palsu, yang tidak perlu diverifikasi kebenarannya. Asalkan berbeda dan menyerang, asalkan bisa membantai lawan, pendapat itu semakin lama menjadi kebenaran.

Agama pun semakin didekatkan lagi ke titik fundamentalisme. Agama bukan lagi menjadi pedoman nilai dalam berbangsa dan bernegara, tetap dijadikan sebagai sebuah pemujaan (cult).

Agama semakin kosong dalam menghiasai nilai-nilai berperilaku yang manusiawi, adil, dan jujur. Agama dipotong hanya sebagai sebentuk puja-puji yang penuh kedengkian. Yang dikedepankan bukan lagi kesantunan dan kemanusiaaan. Para pemuja kebencian ini sudah sempurna dalam memberhalakan dirisendiri. Atas nama identitas politik dan nafsu kekuasaan, segala cara ditempuh.

Kebohongan dan pembodohan dilakukan berulang-ulang dengan harapan utama, agar tak ada lagi kebenaran yang bisa dipercaya. Hingga pada saatnya, etika, hukum bahkan filsafat moral pun sudah kesulitan menerangkan kebaikan dan kejahatan. Etika politik tidak lagi bisa dijadikan jalan untuk menjelaskan tingkah laku politik yang etis dan sebaliknya.

Tak disadari, perilaku politik yang demikian mengarahkan manusia pada tingkah laku machiavellianism. Semua cara bisa dihalalkan dan ditempuh demi kekuasaan. Pidato-pidato di panggung kekuasaan pun semakin terang-terangan mengajarkan untuk membenci mereka yang tidak segolongan. Tak hanya itu, kalau perlu dari rumah ke rumah disebarkan noda kebencian paling kotor. Semua tak perlu diverifikasi, cukup dengan prasangka buruk.

Elite politik dan tokoh agama semakin keblinger dan merasa edukasi berdasarkan prasangka itulah cara terbaik dan termurah dalam meraih dukungan kekuasaan. Tak lagi dipedulikan menyalahi kodrat kemanusiaan atau tata nilai agama. Toh semua sudah dilakukan (seolah-olah) berlandaskan nilai agama.

Sampah

Edukasi politik yang didasarkan atas prasangka kebencian ini semakin mewarnai ruang publik. Media sosial dipenuhi sampah sumpah serapah yang berujung pada fanatisme buta. Para elite pun tertawa girang saat perilaku tersebut berefek pada naiknya estimasi angka dukungan. Angka popularitas dan elektabilitas menjadi tuhan baru yang diperjuangkan mati-matian meskipun semua itu beralaskan rasa benci dan dengki.

Kebencian itu racun yang mendarah daging dan bersemayam di setiap sel atau poripori kehidupan. Jadi, mengapa hanya karena kekuasaan, elite politik tega meracuni anak generasi muda? Sebabnya jelas karena politik itu membutakan mata hati dan nurani. Kini bukan lagi program kerja dan prediksi kesatuan kebangsaan yang dibanggakan. Elite tak peduli pada nasib kebangsaan dan kemakmuran, melainkan terjebak pada fatamorgana kekuasaan.

Dalam awan kegelapan yang semakin hitam, masih ada secercah harapan untuk menentukan nasib bangsa. Saatnya kita memilih kebaikan otentik, sebuah kebaikan yang nyata-nyata dilandaskan pada kepentingan umum (bonnum commune). Saatnya politik kekuasaan ditentukan akal sehat untuk memajukan kepentingan bangsa, bukan kepentingan golongan per golongan. Bukan kepada mereka yang berpidato kebaikan, tapi landasannya kedengkian.

Kita masih bisa menentukan pilihan sesuai dengan hati nurani. Hati nurani yang berisi nilai-nilai kemajuan bangsa atas landasan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Jadi, bukan sekadar pidato Pancasila, tanpa makna, Malahan, faktanya justru mengerdilkannya. Kita masih punya kesempatan untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa berdaulat yang memajukan kepentingan umum dan kemanusiaan di atas politik identitas.

Pudarnya nilai-nilai etis yang sudah dirasakan kini, cukuplah menjadi tamparan telak bahwa keberlangsungan bangsa harus dipertahankan dengan caracara yang etis pula. Etika dan hukum ditegakkan tanpa tebang pilih. Semua dilakukan dengan satu tujuan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat yang semakin memudar terhadap kebaikan politik.

Pilihlah pemimpin yang beriman secara otentik. Mereka yang beriman sebagai sumber inspirasi batin bagi kehidupan nyata. Hindari yang beriman hanya simbol lahirilah yang menjelma dalam ritus dan upacara. Jadi, iman tidak terkait dengan tata kehidupan. Akibatnya, dia tidak menjiwai kehidupan publik. Saatnya rakyat memilih pemimpin dengan visi kebangsaan dan kepancasilaan yang jelas. Bukan pemimpin yang sekadar pandai pidato tentang Pancasila, tapi tak mengamalkannya dalam kehidupan nyata.

Akal sehat rakyat sangat menentukan nasib masa depan bangsa. Perubahan Indonesia masa depan ditentukan pada pemimpin yang menjunjung tinggi spirit arête (Yunani kuno: kehebatan/keunggulan). Pemimpin seperti ini bisa mengombinasikan keberanian, kebajikan, dan kemampuan dalam tata kelola pemerintahan untuk melayani rakyat secara sikap jujur.

Mereka jujur dalam berkekuasaan dan mampu membawa ke gerbang perubahan sesungguhnya. Dia menjadi seorang pemimpin yang sanggup berempati dan bertindak secara nyata. Bangsa membutuhkan pemimpin yang tulus mengabdi untuk kesejahteraan rakyat. Pemimpin harus betulbetul memperhatikan nasib masa depan bangsa, bukan nasib dirinya sendiri. Penulis Seorang Rohaniwan

Komentar

Komentar
()

Top