Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Politik "Kelas Asongan"

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Oleh DR Asmadji As Muchtar

Andai saja gerakan #2019GantiPresiden boleh disebut sebagai contoh politik kelas asongan, prospeknya sangat tidak menguntungkan bagi kubu yang didukungnya. Sebagai gerakan politik, kalau memang boleh disebut demikian, harus bersedia dikritik agar terbuka kemungkinan menjadi lebih baik. Layak disayangkan, jika politik kelas asongan selalu dianggap ugal-ugalan, mengusik kenyamanan ruang publik karena banyak teriakan merusak ketenangan. Kenyamanan memang seharusnya selalu dihormati semua pihak.

Faktanya, kegiatan seperti berkerumun di ruang publik atau pawai dengan orasi bisa dianggap mengusik kenyamanan. Arus lalu lintas pasti terganggu. Pengguna jalan akan menggerutu, "Lagi-lagi gerakan itu bikin pusing saja." Gerutuan demikian bisa diartikan kekesalan dan bisa berbuntut negatif di ranah politik konvensional seperti pemilu dan pilpres. Rakyat tidak akan memilih kandidat yang ditawarkan oleh aktivis politik kelas asongan.

Lebih konkretnya, tiap muncul gerakan politik kelas asongan, suasana akan terkesan menegangkan. Banyak aparat tampak serius berjaga-jaga memelihara ketertiban dan keamanan. Kesannya, selalu akan muncul kerawanan, apalagi kalau sebelumnya sudah ada kecaman atau penolakan sejumlah pihak.

Kerawanan akan semakin kuat, jika muncul gerakan politik kelas asongan lain yang menentangnya dengan menggelar aksi tandingan. Kerawanan betul-betul meresahkan masyarakat sehingga sejumlah toko segera ditutup. Kondisi ini sangat merugikan banyak pihak. Maka, tak heran, sering muncul penolakan gerakan tagar tersebut menggelar aksi di sejumlah daerah.

Dengan demikian, jika kubu yang didukung atau merasa diuntungkan oleh gerakan politik asongan ternyata kalah dalam Pilpres 2019, bisa diduga salah satu faktor penyebabnya karena keberadaan gerakan tersebut. Mereka tidak mendapat simpati masyarakat luas. Mereka hanya didukung petualang-petualang politik tertentu yang jumlahnya kecil.

Sering terdengar gerutuan masyarakat. Warga mengomentari gerakan politik tersebut, "Ingin mengganti presiden kok ugal-ugalan. Andai didukung banyak rakyat, mereka pasti semakin ugal-ugalan. Apa jadinya bangsa dan negara ini andai pihak ugal-ugalan menang pemilu dan berkuasa?"

Layak dicatat, kesan ugal-ugalan identik dengan tidak peduli etika. Contohnya, mengibarkan kaos bertanda tagar tersebut dalam acara prosesi ritual haji di Mekah, belum lama ini. Tindakan ini sempat viral, tapi langsung dikecam banyak pihak. Atau menempelkan stiker tagar dalam kemasan air zam-zam yang juga langsung menuai kecaman luas.

Bisa saja pelaku politik kelas asongan tidak menyadari perilakunya yang dianggap ugal-ugalan. Jika betul demikian, tentu akan makin merugikan pihak yang didukungnya, yang semula merasa diuntungkan. Jika jumlah pelaku dan pendukung politik kelas asongan yang ugal-ugalan hanya tujuh juta orang, mana mungkin memenangkan kubu yang bertarung dalam Pilpres 2019. Pemenang Pilpres 2019 perlu 100 juta suara. Kubu-kubu yang hendak bertarung di Pilpres 2019, pasti tak suka gerakan tagar tersebut. Malahan dukungan tagar tersebut bisa menjadi bumerang. Sebab mayoritas rakyat menilainya tak layak dipilih karena sudah nyata-nyata mendukung gerakan politik ugal-ugalan.

Justru Merugikan

Nasib politik kelas asongan yang dianggap ugal-ugalan bisa jadi mirip oknum pedagang asongan yang kurang ajar. Misalnya, oknum pedagang asongan di dalam bus yang berteriak keras-keras untuk membangunkan penumpang yang sedang tidur hanya untuk menawarkan dagangannya berupa minuman atau makanan ringan. Dalam hal ini, yang dilakukan oknum pedagang asongan tersebut memang sangat tidak sopan di mata umum, meskipun bisa jadi olehnya dianggap wajar-wajar saja.

Jika muncul pertanyaan, mengapa oknum pedagang asongan berbuat kurang ajar dalam menjajakan dagangannya? Jawabannya sederhana, agar dagangannya bisa laku. Penumpang yang kesal karena sudah dibangunkan bisa jadi malah tidak sudi membeli dagangan. Bahkan, penumpang yang merasa sangat terganggu akan bersungut-sungut dan kembali tidur.

Meski demikian, oknum pedagang asongan yang kurang ajar akan tetap ugal-ugalan dalam menjajakan dagangan. Hal ini dinilai tidak baik bagi ketertiban umum, sehingga banyak otoritas terminal maupun bandara melarang pedagang asongan. Gara-gara ada oknum kurang ajar, citra semua pedagang asongan jadi buruk. Selain itu, keberadaan mereka dianggap mengurangi penghasilan pemilik kios resmi di terminal dan bandara.

Paparan tersebut mau menggambarkan nasib politik kelas asongan yang dianggap ugal-ugalan dan bisa dianggap merugikan partai-partai politik di Pemilu dan Pilpres 2019. Logikanya, kampanye politik sudah diatur agar berlangsung tertib, tidak ugal-ugalan karena rentan menimbulkan kerawanan keamanan. Selain itu, karena tujuannya ingin menarik simpati dan dukungan rakyat, kampanye politik selayaknya dilakukan dengan sopan.

Politik kelas asongan yang ugal-ugalan akan ditolak partai, meskipun semula ada yang merasa diuntungkan. Sebab politik kelas asongan ugal-ugalan tak akan didukung rakyat yang mendambakan ketertiban dan kenyamanan bersama. Mereka hanya didukung petualang-petualang politik yang memang sama-sama suka ugal-ugalan. Antara lain, untuk mencari sensasi dan popularitas belaka, tanpa peduli etika.

Bagi petualang politik, sensasi dan popularitas bisa diperoleh dengan menghalalkan segala cara, termasuk memproduksi hoax. Misalnya, belum lama di media sosial muncul gambar tagar #2019GantiPresiden pada formasi barisan mahasiswa baru sebuah perguruan tinggi Yogyakarta yang ternyata hoax.


Penulis Dekan FIK Universitas Sains Al Quran, Wonosobo, Jawa Tengah

Komentar

Komentar
()

Top