Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
PERSPEKTIF

Polemik Tentang Cuti Bersama

Foto : ISTIMEWA
A   A   A   Pengaturan Font

Tambahan libur bersama Lebaran 2018 terus menuai polemik. Saat ini, cuti bersama masih mengacu kepada surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri. Putusan itu termaktub dalam SKB Nomor 223 Tahun 2018, Nomor 46 Tahun 2018, dan Nomor 13 Tahun 2018, yang ditetapkan pada 18 April lalu.

Dalam keputusan tersebut, penambahan cuti bersama diberikan dua hari sebelum Lebaran, yaitu 11 dan 12 Juni 2018, serta satu hari setelah Lebaran, yaitu pada 20 Juni 2018. Sehingga total cuti bersama adalah tujuh hari, yaitu 11, 12, 13, 14, 18, 19, dan 20 Juni 2018. Jika ditotal hari raya dan libur biasa maka jumlahnya 10 hari.

Pemerintah akan mengumumkan cuti bersama itu pada Senin (7/5/2018) di Kantor Kementerian Koordinator Bidang PMK. Bila sebelumnya pemerintah memastikan cuti bersama itu selama 7 hari, maka pada Senin (7/5) itu akan diumumkan hasil evaluasi setelah berdialog dengan sejumlah pengusaha.

Salah satu keinginan pengusaha adalah 3 hari tambahan cuti yang jatuh pada 11-12 Juni dan 20 Juni bersifat opsional atau tidak diwajibkan bagi pelaku usaha alias boleh beroperasi atau libur. Cuti Lebaran 2018 yang ditetapkan melalui SKB tiga menteri itu awalnya diputuskan tanpa mengajak dialog para pengusaha dan tidak mempertimbangkan kondisi perbankan, industri, pelabuhan, penerbangan, Bursa Efek Indonesia, serta kondisi sosial budaya.

Padahal, penambahan cuti berdampak pada dunia usaha. Setelah diprotes, barulah pemerintah melalukan dialog. Bagi dunia usaha, libur empat hari saja sudah cukup, yakni dua hari sebelum dan sesudah Lebaran, seperti tahun-tahun sebelumnya. Durasi libur yang terlalu panjang akan merugikan para pengusaha. Pertama, makin panjang libur, makin banyak pula tambahan biaya produksi, terutama ekspor.

Hal itu terkait dengan jadwal pemuatan barang ke kapal yang harus sesuai dengan jadwal. Kalau ada tambahan libur, tentu akan mengacaukan semua rencana ekspor yang sudah terjadwal itu. Pada dasarnya, perusahaan tidak dapat libur karena harus tetap berproduksi. Apalagi untuk mereka yang memiliki transaksi jual beli dengan konsumen luar negeri.

Penambahan libur mendadak, tentu saja mengganggu proses bisnis mereka, mulai dari produksi, distribusi, hingga transaksi. Kebijakan libur yang terlalu panjang juga akan berdampak pada penurunan produktivitas. Sering kali, karena libur terlalu panjang, semangat atau etos kerja para karyawan tidak langsung tune in.

Alhasil, dari sisi kinerja cenderung turun. Padahal, di tengah pasar persaingan yang semakin ketat, pengusaha berharap ada situasi kondusif yang mendukung bisnis berjalan lebih baik. Dunia pasar modal yang berkaitan dengan investor asing juga mempertanyakan keputusan cuti bersama yang berpotensi terjadinya penarikan dana tersebut.

Cuti bersama yang terlalu lama menjadi sentimen negatif bagi pasar modal. SKB Tiga menteri tentang cuti bersama itu seperti kebijaksanaan yang mendadak. Bagi dunia pasar modal, hari tutup perdagangan saham di dunia, selayaknya ditentukan minimal setahun secara rapih di depan. Apalagi saat ini nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) saat ini cenderung bergerak liar alias volatile.

Tingkat bunga sedang berpotensi merangkak ke atas. Kita patut menyesalkan kebijakan tambahan libur Lebaran diputuskan tanpa dikoordinasikan dengan pengusaha. Padahal, setiap kebijakan pemerintah akan punya pengaruh ke dunia usaha. Setiap kebijakan pemerintan jangan sampai kontraproduktif dengan dunia usaha.

Pemerintah seharusnya merancang dan membuat kebijakan yang mampu mengakomodir berbagai sisi. Dunia usaha berharap, masukan atau keberatan kepada pemerintah ini menjadi bahan untuk me-review kebijakan tersebut.

Komentar

Komentar
()

Top